Rabu, 05 Februari 2014

PEGADAIAN SYARIAH VERSUS PEGADAIAN KONVENSIONAL: SEBUAH ANALISIS PERBANDINGAN



ASBTRAK

Perum pegadaian sebagai perusahaan miliki negara yang bergerak dibidang gadai, telah melahirkan berbagai terobosan dalam rangka menjawab dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk menjawab kebutuhan tersebut perum pegadaian menetaskan anak perusahan baru yang bernama pegadaian syariah sebagai alternatif bagi umat islam yang ingin membebaskan diri dari praktik riba dan bunga yang ada pada pegadaian umum/konvensional. Namun dibalik keinginan tersebut, berdasarkan kajian ini ternyata masih jauh praktik gadai yang dituntun berdasarkan syariat seperti pembatasan akad gadai yang hanya dilakukan selama empat bulan. Disamping itu, ketentuan Rahn (gadai syariah) oleh pegadaian syariah telah melabrak fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang mengatakan bahwa “besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman”. Sementara praktik pegadaian syariah pada hari ini besar biaya administrasi dan biaya ijaroh tergantung pada besar kecilnya pinjaman.

Kata Kunci: Pegadaian syariah, Rahn, Ijaroh, dewan syariah

A.    PENDAHULUAN
Adanya berbagai macam kebutuhan yang mendesak di zaman modern ini, mendorong orang yang tidak memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk menggadaikan harta benda yang mereka dimiliki. Hal ini dilakukan apabila dalam kehidupan baik berumah tangga maupun sosial terdesak oleh kepentingan yang tidak bisa ditunda. Maka alternatif terakhir yang lakukan adalah menggadaikan harta benda  tersebut kepada perum pegadaian untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Pegadaian adalah suatu lembaga perkreditan tertua bercorak khusus, berdiri sejak zaman penjajahan Belanda dan telah dikenal masyarakat sejak lama, khususnya masyarakat golongan berpenghasilan menengah dan bawah. Pegadaian mempunyai tugas memberikan pelayanan jasa kredit berupa pinjaman uang dengan jaminan barang bergerak.
Dalam perkembangannya, perum pegadaian merupakan merupakan alternatif terbaik bagi masyarakat yang rata-rata memiliki tingkat ekonomi yang lemah untuk di mintai kredit dengan barang jaminan tertentu. Seperti halnya emas, tv, motor dan lain sebagainya. Bersamaan dengan itu pula, karena terdorong oleh semangat kebergamaan khususnya di Indonesia berkembanglah apa yang dinamakan dengan pegadaian syariah.
Pegadaian syariah lahir karena adanya tuntutan dari beberapa komponen masyarakat islam yang tidak menghendaki proses pemberian yang berbau riba. Sehingga untuk menjawab itu semua oleh pemerintah dibentuklah pegadaian syariah yang dalam pengamatan penulis hampir sama dengan proses lahirnya pegadaian syariah di Indonesia.
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat juga dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP 10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP 103/2000  yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003  tentang Bunga Pegadaian, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.178 tanggal 3 Mei 1961 Jawatan Pegadaian diubah menjadi Perusahaan Negara (PN) Pegadaian, sebagai badan usaha milik negara (BUMN) di bawah naungan Departemen Keuangan. Dengan terbitnya Inpres No.17 tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1969, PN Pegadaian beralih statusnya menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian.
Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990 dan PP No.103 tahun 2000 tanggal 10 Nopember 2000 ini pula, Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian dengan usahanya adalah penyediaan pelayanan bagi kemanfaatan umum sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan dan bertujuan untuk; Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai dan jasa di bidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktek riba dan pinjaman tidak wajar lainnya.
Berangkat dari penjelasan pada latar belakang inilah peneliti ingin meneliti dan membandingkan bagaimana sebenarnya pegadaian syariah dan pegadaian konvensional? Dan Dimanakah titik perbedaan dan persamaanya?

B.     LANDASAN TEORI
Pegadaian Syariah
Kata gadai dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman (KBBI Offline, 2011). Menurut Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri Gadai yaitu memperkuat hutang dengan benda yang bisa membayarnya darinya, atau dari harganya, jika tidak bisa membayar dari jaminan peminjam (At-Tuwaijri, 2009).
Pegadaian adalah suatu lembaga perkreditan tertua bercorak khusus, berdiri sejak zaman penjajahan Belanda dan telah dikenal masyarakat sejak lama, khususnya masyarakat golongan berpenghasilan menengah dan bawah. Pegadaian mempunyai tugas memberikan pelayanan jasa kredit berupa pinjaman uang dengan jaminan barang bergerak.
Kegiatan menjaminkan barang-barang untuk memperoleh sejumlah uang dan dapat ditebus kembali setelah jangka waktu tertentu tersebut disebut dengan nama usaha gadai. Dengan usaha gadai masyarakat tidak perlu takut kehilangan barang-barang berharganya dan jumlah uang yang diinginkan dapat disesuaikan dengan harga barang yang dijaminkan. Perusahaan yang menjalankan usaha gadai disebut perusahaan pegadaian dan secara resmi satu-satunya usaha gadai di Indonesia hanya dilakukan oleh Perusahaan Pegadaian.
Secara umum pengertian usaha gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan pihak pegadaian (Sasli Rais, 2006).
Di dalam kredit, pihak kreditor tentu tidak mau memberikan kredit kepada debitor tanpa adanya suatu jaminan. Biasanya jaminan dalam kredit yang diberikan kepada kreditor adalah yang berwujud benda, dimana pihak kreditor memberikan piutang dengan sejumlah uang, sedangkan pihak debitor dalam memperoleh kredit tersebut memberikan suatu jaminan (benda) kepada kreditor untuk menguasai benda sebagai jaminan hutang yang dimaksud. Jarminan yang disebut diatas dinamakan gadai (Suyatno dkk, 1993). 
Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian marak di Indonesia, tidak terkecuali pegadaian. Perum pegadaian mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut dengan pegadaian syariah. Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau bagi hasil. Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhumbih (UP) mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan metode Fee Based Income (FBI) (Kashadi, 2000).
Sebagai penerima gadai atau disebut Mutahim, penggadai akan mendapatkan Surat Bukti Rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang disebut Akad Gadai Syariah dan Akad Sewa Tempat (Ijarah). Dalam akad gadai syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin guna melunasi pinjaman. Sedangkan Akad Sewa Tempat (ijarah) merupakan kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai untuk menyewa tempat untuk penyimpanan dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP/10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP 103/2000  yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003  tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat  beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Dan setelah melalui kajian panjang akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah  sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah (Edy Putra The’Aman, 1989).
Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri  di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah (Edy Putra The’Aman, 1989)
Pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu (Ghafar dan Abd. Ghani, 2006):
§  Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
§  Akad Ijarah. Yaitu  akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.
Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut: Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya (emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.

Pegadaian Konvensional
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, pemerintah mendirikan Lembaga Keuangan Bank (LBK) dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB). Salah satu Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) adalah Perum Pegadaian. Pada awalnya Lembaga Pegadaian adalah Perusahaan Jawatan, namun melalui peraturan pemerintah Nomor 10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990 bentuknya berubah menjadi Perusahaan Umum.
Apabila dilihat dari fungsi dan jenis kegiatanya pegadaian merupakan salah satu Lembaga Keuangan Bukan Bank yang fokus kegiatanya adalah pembiayaan. Perum pegadaian dapat memberikan pinjaman kepada masyarakat luas dengan tujuan  ikut membantu program pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan khususnya golongan ekonomi menengah kebawah, melalui kegiatan utamanya yaitu memberikan penyaluran kredit kepada masyarakat.
Pegadaian adalah suatu badan atau organisasi yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa peminjaman uang dengan menggadaikan suatu barang sebagai jaminannya.  Menurut Sarli Rais Secara umum pengertian gadai adalah : “Kegiatan menjaminkan ‘barang-barang’ berharga kepada pihak-pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang, dimana barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai (Sarli, 2005).
Kegiatan menjaminkan barang-barang untuk memperoleh sejumlah uang dan dapat ditebus kembali setelah jangka waktu tertentu tersebut disebut dengan nama usaha gadai. Dengan usaha gadai masyarakat tidak perlu takut kehilangan barang-barang berharganya dan jumlah uang yang diinginkan dapat disesuaikan dengan harga barang yang dijaminkan. Perusahaan yang menjalankan usaha gadai disebut perusahaan pegadaian dan secara resmi satu-satunya usaha gadai di Indonesia hanya dilakukan oleh Perusahaan Pegadaian.
Menurut  Decker (1963)  yang dikutip Suharto beberapa  prinsip  yang  dianut  perum pegadaian  sebagai  lembaga  perkreditan  rakyat  (istilah  yang  dipakai  sejak jaman kolonial) adalah sebagai berikut (dalam Sijabat, 2010) :
a.       Memberikan pelayanan yang mudah dan  cepat untuk  rakyat yang  tidak berpendidikan  atau  berpendidikan  rendah.  Pada  saat  sebelum Kemerdekaan ditiap pegadaian disiapkan juru gadai. Juru gadai bertugas membantu  nasabah  untuk mendapatkan  pinjaman, mulai  dari  pengisian formulir,  sampai  dengan  menghitung  uang  yang  dipinjam  dari  loket. Selain  itu menjadi  petugas  tetap  yang mendampingi  kliennya  dan  jika perlu  akan  datang  dari  rumah  ke  rumah  untuk mengingatkan  nasabah atas pinjamannya;
b.      Menetapkan tingkat bunga berdasarkan kemampuan nasabah. Untuk itu, pegadaian  setiap  saat  akan  mengevaluasi  kemampuan  nasabah  untuk membayar  pinjamannya.  Sekiranya  nasabah  dinilai  mampu  membayar pada  tingkat  bunga  tertentu  maka  tingkat  bunga  tersebut  akan dipertahankan atau bahkan mungkin ditingkatkan;
c.       Menetapkan  batas  pinjaman  maksimal  berdasarkan  taksiran  nilai  jual maksimal  agunan  pada  waktu  batas  akhir  pembayaran.  Jadi  besar pinjaman bervariasi berdasarkan jangka waktu pinjaman. Semakin  lama waktu pinjaman maka nilai maksimal pinjaman semakin kecil. Misalnya untuk  satu  tahun  adalah  60%  dari  nilai  agunan,  sedangkan  untuk  tiga bulan biasanya mencapai 80% dari nilai agunan;
d.      Tidak membatasi tujuan penggunaan pinjaman atau nasabah bebas/boleh menggunakan pinjaman untuk tujuan apa saja;
e.       Pembangunan  dan  erasionalisasi  pegadaian  dikoordinasikan  dengan pemerintah  daerah,  dan  memperhatikan  saran-saran  dari  pemerintah daerah. 

C.    METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. penelitian kualitatif ingin mendapatkan pemahaman yang mendalam. Untuk itu harus mencari nomenon atau makna di balik fenomena. Atau dapat dikatakan penelitian kualitatif ingin mendapatkan makna di balik fenomena, untuk itu perlu mendapatkan pemahaman yang mendalam dari suatu fenomena (Heru Basuki, 2006: 27). Dalam pengertian yang lain penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian untuk memahami masalah-masalah manusia atau sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan dengan kata-kata, melaporkan pandangan terinci yang diperoleh dari para sumber informasi, serta dilakukan dalam latar (setting) yang alamiah (Heru Basuki, 2006: 48).
Sedangkan jenis penelitiannya adalah penelitian deskriptif di mana dalam penelitian ini peneliti berupaya untuk proses pemecahan masalah yang sedang diselidiki dengan melukiskan keadaan subyek dan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau bagaimana adanya (Sugiyono, 2011).
Penelitian dilaksanakan di Kota Bima dengan mengambil subyek penelitian pada pegadaian syariah dan pegadaian konvensional. Analisis data difokuskan pada surat bukti kredit dan data-data yang lain yang dapat mendukung proses analisis agar lebih tajam dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

D.    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa penyusunan penelitian  ini diarahkan pada dua isu utama. Pertama tentang konsep kredit. Kedua penggunaan. Maka untuk kepentingan analisis terkait dua hal diatas, penyusun memusatkan analisisnya pada Surat Bukti Kredit selanjutnya disebut SBK masing-masing pegadaian.  Disamping itu analisis pembanding dilakukan dengan buku-buku dan konsep-konsep lain yang sesuai dengan topik yang dibahas.
Pembahasan terkait dengan konsep kredit merupakan pembahasan yang sangat esensial dalam penelitian ini. Di awali dari sebuah keyakinan bahwa ada perbedaan dan persamaan dari segi konsep antara pegadaian  syariah dan pegadaian konsvensional. Berangkat dari hal tersebut, analisa perbandingan ini berupaya mengungkap hal-hal yang selama berada di area abu-abu antara kedua pegadaian tersebut.
Berdasarkan pada surat Surat Bukti Kredit (SBK), masing-masing pegadaian telah menguraikan panjang lebar seputar hal dan konsep terkait kreditnya masing-masing. Dalam konsep pegadaian konvensional termuat perjanjian kredit antara nasabah dengan penggadai dengan 10 item perjanjian. Sedangkan perjanjian menurut pegadaian konvensional sebanyak 7 item. Ketentuan pinjaman oleh pegadaian konvensional termuat dalam 5 item sedangkan pegadaian syariah memuat 4 item ketentuan pinjaman.
Konsep kredit pegadaian syariah pada hakikatnya didasarkan pada ketentuan syariat islam terkait dengan masalah gadai (Rahn). Berbagai ketentuan yang mengatur tentang gadai (Rahn) dalam syariat misalnya dalam surat Al Baqarah ayat 283 ” Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)...”. Dan hadits Riwayat Muslim dari Aisyah yang mengatakan bahwa rasululah pernah membeli makanan dari seorang yahudi dengan memberikan baju besi sebagai jaminannya. Sementara pegadaian konvensional lahir atas prakarsa pemerintah dengan dikeluarkannya PP No. 10 tanggal 1 April 1990 yang kemudian direvisi pada PP No. 103 Tahun 2000 tentang Perum Pegadaian. Kendati dengan landasan konseptual yang berbeda namun dari segi asas yuridis sama yaitu peraturan pemerintah.
Akad ijarah merupakan konsep pemberian kredit yang utama dalam sistem pegadaian syariah.  Perkataan  al-ijarah sendiri berasal dari kata al-ajr yang berarti balasan atau ganjaran ke atas sesuatu pekerjaan (Sabri dan Mumin, 2006: 2). Dengan demikian ijarah yang dikehendaki pegadaian syariah adalah biaya sewa dan perawatan terhadap barang yang digadai.
Ketentuan perhitungan ijarah oleh pegadaian syariah berdasarkan pada siklus persepuluh hari. Misalnya uang Taksiran terhadap barang sebesar Rp. 10.000.000  Pinjaman Rp. 1.000.000,  Maka Biaya Administrasi Gadai dan Gadai Ulangnya adalah Rp 30.000,-. Sedangkan Ijarahnya sebesar : 1% X Rp 10.000.000,- = Rp 100.000,- / 120 hari.
            Pegadaian konvensional menggunakan teknik perhitungan dengan siklus per lima belas hari dengan ketentuan bunga antara 1,200% sampai dengan 9,600%. Dengan suku bunga tetap selama lebih dari 20 tahun yaitu sebesar 3,5% / bulan (Saudin Sijabat, 2010). Dengan durasi perpanjangan gadai 120 hari (4 bulan). Misalnya uang pinjaman sebesar Rp. 1.000.000. Maka, biaya sewa modal yang harus dikeluarkan oleh penggadai dengan perhitungan 1.000.000/11,6% menjadi Rp. 116.000/ 4 bulan. Dengan biaya administrasi dibagi dua yaitu gadai baru dengan biaya sebesar 1%. Dan gadai ulang sebesar 0,8% / 4 bulan. Sehingga biaya administrasinya sebesar Rp. 8.000.
Dari hasil perbandingan ini, diperoleh bahwa biaya yang harus dikeluarkan oleh rahin pada transaksi gadai syariah lebih mahal dibandingkan dengan transaksi yang dikeluarkan pada pegadaian konvensional. Hal ini berarti, identitas syariah yang digunakan oleh pegadaian syariah sama sekali tidak berdampak pada biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang penggadai.
Hal menarik yang patut dicermati sebagaimana yang diutarakan oleh Abdul Manan dalam bukunya ekonomi islam adalah jangan sampai praktik ekonomi islam memakai nama dalam bentuk syariah dengan esensi riba yang sama. Hal ini akan sangat mencoreng citra syariah sebagai ajaran yang berasal dari Allah.
Persoalan pegadaian syariah dan pegadaian konvensional yang memiliki banyak kesamaan tidak memberikan arti penting dalam menjawab persoalan syariah seputar masalah gadai. Secara essensial antara pegadaian syariah dan pegadaian konvensional tidaklah berbeda justru kalau dikaji dari segi kemaslahatan pegadaian syariah lebih banyak membebani penggadai daripada pegadaian konvensional. Yang menjadi pertanyaan besar peneliti adalah motif dikeluarkannya peraturan yang terkait dengan  pegadaian syariah itu seperti apa. Kalau misalnya kata syariah hanya untuk menarik pelanggan yang mayoritas muslim jelas ini sudah menyalahi ketentuan syariat islam yang diturunkan oleh Allah. Dan mencaplok nama syariah pada pada bidang bisnis jelas merupakan pelanggaran yang tidak bermoral.
Dari segi penggunaan istilah tertutama istilah ijarah yang digunakan oleh pegadaian syariah untuk memungut biaya penyimpanan barang jaminan penggadai sebenarnya memiliki essensi yang sama dengan bunga yang dipergunakan oleh pegadaian konvensional terhadap uang pinjaman. Dengan menggunakan siklus empat bulanan terhadap tarif ijaroh akan sulit kita membedakan dengan pegadaian konvensional. Sehingga yang terjadi adalah bukan perbedaan dari segi essensi tetapi hanya dalam penggunaan istilah.
Kendati istilah yang digunakan ini berbeda yakni satu menggunakan kata ijaroh yang berbasis syariat islam sedangkan yang lain menggunakan bunga yang jelas-jelas dilarang oleh syariat islam, tetapi itu tidak mengurangi nilai beban yang diberikan oleh masing-masing pegadaian. Seandainya pegadaian syariah yang memakai istilah ijaroh untuk pungutannya tidak membatasi waktu dengan empat bulanan, maka ini yang paling sesuai dengan konsep pegadaian syariah. Hal ini didasarkan pada hadits ketika rasulullah menggadaikan baju besinya untuk ditukarkan dengan  makanan, dalam akad tersebut tidak dijelaskan kapan dan berapa bulan batas waktu yang ditentukan untuk penebusan kembali.
Disamping itu, ketentuan Rahn (gadai syariah) berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 mengatakan bahwa terdapat lima point yang fundamental praktek gadai yang sesuai dengan syariat islam salah satunya adalah “besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman”. Sementara praktik pegadaian syariah pada hari ini besar biaya administrasi dan biaya ijaroh tergantung pada besar kecilnya pinjaman yang diambil atas hasil analisis prediktor terhadap barang gadai. Sehingga yang terjadi bukan praktik gadai syariah tetapi praktik gadai dengan sistem bunga/riba yang mengalami perubahan sampul dari usaha gadai konvensional.
Dengan demikian diakhir pembahasan ini peneliti ingin menegaskan bahwa tidak terdapat ketentuan syar’i yang mengatakan bahwa ijaroh yang dikenakan terhadap penggadai dengan waktu yang ditentukan. Sehingga bagaimanapun baiknya pegadaian syariah apabila beban biaya sama dengan pegadaian konvensional maka unsur syariah pegadaian sebagai alat untuk membantu masyarakat tidak dapat terpenuhi, apalagi kedua pegadaian tersebut sama-sama menggunakan siklus peminjaman yang empat bulanan.

E.     PENUTUP
 Dari pembahasan dan hasil analisa diatas, dapatlah disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Ditinjau dari beban biaya yang harus dikeluarkan oleh penggadai, pegadaian syariah membebankan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan pegadaian konvensional. Sehingga, semangat syariat yang menghendaki kemaslahatan umat tidak tercapai dengan baik melalui pegadaian yang bertitel syariah.
2.      Pembatasan beban ijaroh oleh pegadaian syariah dengan menggunakan siklus empat bulanan, jelas menyalahi praktik gadai yang dilakukan oleh Rasulullah. Karena dalam praktek gadai Rasulullah tidak membatasinya dan hal ini tergantung kemampuan penggadai bisa lebih cepat atau lebih lambat dari empat bulan.
3.      Masing-masing pegadaian memiliki kekurangan dan kelemahan. Pegadaian konvensional dianggap melakukan praktek fidusia, sedangkan pegadaian syariah tidak betul-betul melaksanakan prinsip syariah dalam pengelolaan pegadaian, seperti perhitungan sewa modal dan administrasi yang tidak transparan dan berdasarkan modal pinjaman.




F.     DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Muhammad, 1993. Ekonomi Islam Teori dan Praktek, Jokjakarta, PT. Dana Bhakti Waqaf.
Kashadi, 2000,  Gadai dan Penanggungan,  Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.
Mgs. Edy Putra The’Aman, 1989.  Kredit Perpegadaianan Suatu Tinjauan Yuridis. Liberty, Yogyakarta.
Patrik, Purwahid dan Kashadi. 2004.  Hukum Jaminan (Edisi Revisi Dengan UUHT), Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
R. Subekti, 1989. Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia.  PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sabri Abdul Ghafar,  Mohd dan Mumin Ab Ghani, Abdul, 2006. Manfaat Al-Ijarah Menurut Perspektif Fiqh Empat Mazhab, Jurnal Fiqh: No. 3.
Sarli, Rais. 2005. Pegadaian Syariah Konsep dan Sistem Operasional. Jakarta :  Universitas Indonesia.
Saudin Sijabat, 2010. Pegadaian Versus Bank Umum (Menilai Profil yang Potensial untuk Menjadi  Lembaga Perkreditan Rakyat), Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UMKM.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri, 2009. Ringkasan Fiqh Islam, Terjemah :  Team Indonesia islamhouse.com.
Suyatno, Thomas (dkk), 1993.  Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Kamis, 24 Oktober 2013

KONTRIBUSI KEBIJAKAN PIMPINAN, KOMPETENSI DOSEN, DAN PELAYANAN KARYAWAN TERHADAP PENJAMINAN MUTU INTERNAL DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEPUASAN MAHASISW

ABSTRACT 

Assurance of internal quality can be measured seen with indicators head performance, lecturer interest and service of employees. Third of the indicator can difference minimizing between expectation with given service and storey level satisfaction of student to the third that indicator can be measured by comparing between student expectation to assurance of internal quality to which is wanted it with accepted fact. Responder at this research is taken by counted 72 student people in two college that is STIH Muhammadiyah and STAI Muhammadiyah of Bima pursuant to method of proportional sampling random stratified which is distribution by proporsional in each semester level. The result of study: (1) The head performance has a significant direct of satisfaction of students. (2) The lecturer interest has not has a significant direct of students’ satisfaction (3) The service of employees have a significant direct effect of students’ satisfaction. (4) The head performance, lecturer interest, service of employees and assurance of internal quality have simultan direct effect of to students’ satisfaction. (5) The same as with also between head performance, lecturer interest and service of employees to have simultan direct effect of to students’ satisfaction.

Keywords: Performance, Interest, Service, Internal Quality, Satisfaction  

Pendahuluan 

Banyaknya Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang tidak memiliki mutu yang sesuai dengan standar mutu pendidikan nasional, menyebabkan beberapa perguruan tinggi Muhammadiyah dalam pelaksanaan, pengelolaan maupun pengembangannya mengalami stagnasi. Hal ini menjadi kendala yang sangat sulit terutama dalam mengarungi pasar bebas dan globalisasi lebih-lebih pada persaingan antar perguruan tinggi yang semakin ketat. Adanya globalisasi dalam bidang pendidikan ini juga mengakibatkan adanya kecendrungan pengelolaan pendidikan yang mengikuti pola pengelolaan sebuah perusahaan. Sehingga, lahirlah teori baru dalam pengelolaan pendidikan yang disebut Total Quality Education yang diadopsi dari Total Quality Manajemen perusahaan. Total Quality Education adalah usaha suatu lembaga pendidikan untuk selalu melakukan perubahan terhadap mutu sekolah dengan mengedepankan kepuasan pelanggan atau mahasiswa sebagai indicator utama. Perubahan yang continue untuk menjawab tantangan dunia pendidikan yang semakin maju. Kepuasan mahasiswa adalah perasaan bahagia dan suka cita yang dirasakan mahasiswa karena penjaminan mutu internal lembaga dengan kebijakan pimpinan, kompetensi dosen dan pelayanan karyawan sebagai indikator utamanya. 

Kepuasan mahasiswa tidak terlepas dari kebijakan pimpinan, kompetensi dosen dan pelayanan karyawan yang diberikan lembaga Perguruan Tinggi Muhammadiyah Bima di NTB. Dengan demikian, penelitian bertujuan untuk mengetahui; 1) apakah kebijakan pimpinan, kompetensi dan pelayanan karyawan serta penjaminan mutu internal berkontribusi langsung terhadap kepuasan mahasiwa? 2) apakah kebijakan pimpinan, kompetensi dan pelayanan karyawan berkontribusi langsung terhadap penjaminan mutu internal? dan 3) apakah penjaminan mutu internal berkontribusi langsung terhadap kepuasan mahasiwa? Kepuasan adalah perihal (yang bersifat) puas; kesenangan; kelegaan. Sedangkan Mahasiswa didefinisikan sebagai orang yang belajar diperguruan tinggi (Setiawan, 2011). Kepuasan mahasiswa adalah sikap positif mahasiswa terhadap pelayanan lembaga pendidikan tinggi karena adanya kesesuaian antara harapan dari pelayanan dibandingkan dengan kenyataan yang diterimanya (Sopiatin, 2010:33). Menurut Sugito kepuasan mahasiswa adalah suatu keadaan terpenuhinya keinginan, harapan, dan kebutuhan mahasiswa (dalam Srinadi, 2008). Sementara Sarjono (2007) Kepuasan mahasiswa adalah perbandingan antara harapan yang diinginkan mahasiswa tentang pelayanan karyawan, kompetensi dosen yang didukung oleh sarana prasarana dan kepemimpinan dengan apa yang mahasiswa rasakan setelah mendapatkan pelayanan. Pengertian kepuasan adalah istilah evaluatif yang menggambarkan suka dan tidak suka (Simamora dalam Winarsih, 2007:22). Kepuasan pelanggan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap kebijakan (atau hasil) suatu produk dengan harapan-harapannya (Kotler dalam Winarsih, 2007:22). Menurut Dikti (2010, Hal: 8) sistem penjaminan mutu internal adalah kegiatan sistemik penjaminan mutu perguruan tinggi diperguruan tinggi oleh perguruan tinggi (internally driven), untuk mengawasi penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh perguruan tinggi secara berkelanjutan (continuous improvement). Petunjuk Jaminan Mutu yang internal mempunyai kaitan dengan kebijakan dan prosedur untuk jaminan berkwalitas, persetujuan, monitoring dan tinjauan ulang program secara berkala dan penghargaan, penilaian para siswa, jaminan staff pengajar yang berkwalitas, sumber daya belajar dan dukungan siswa, sistim informasi dan informasi publik (Silman, Gokcekus and Isman, 2012). 

Edward Sallis (2011: 70) mutu adalah sesuatu yang memuaskan dan melampui keinginan dan kebutuhan pelanggan. Definisi ini disebut juga dengan istilah, mutu sebagai sesuai persepsi (quality in perception). Mutu ini bisa disebut sebagai mutu yang hanya ada dimata orang yang melihatnya. Ini merupakan definisi yang sangat penting, sebab ada satu resiko yang yang seringkali kita abaikan dalam definisi ini, yaitu kenyataan bahwa para pelanggan yang membuat keputusan terhadap mutu. Dan mereka melakukan penilaian tersebut dengan merujuk pada produk terbaik yang bisa bertahan dalam persaingan. Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa pengertian mutu dalam dunia pendidikan belum ditemukan format yang jelas. Tetapi ada beberapa hal menjadi patokan bahwa institusi/ sekolah memiliki mutu manakala pelanggan puas terhadap pelayanan, baik secara administrasi maupun fasilitas yang diberikan. Kedua, output yang dihasilkan lewat proses belajar mengajar dalam suatu institusi pendidikan yang dapat diandalkan dan dapat bersaing dengan institusi pendidikan lain. Dan sekolah tersebut dapat dikatakan memiliki mutu yang layak secara nasional maupun internasional. Kata kebijakan dalam bahasa inggris dikenal dengan kata policy. Kebijakan, sinonim artinya dengan posisi atau pendirian; atau bagian dari kegiatan tertentu atau teguh terhadap suatu aturan. Namun, arti kebijakan bila digabungkan akan berarti panduan baik bagi mereka yang akan melaksanakannya dan mereka yang mengamatinya (A. Pal dalam Fattah, 2012: 129) Menurut kamus Oxford kebijakan berarti rencana kegiatan atau pernyataan tujuan-tujuan ideal (Fattah, 2012: 131). 


Harman menuturkan bahwa kebijakan adalah spesifikasi implisit atau eksplisit dari serangkaian tujuan tindakan yang diikuti atau harus diikuti yang terkait dengan pengenalan masalah atau masalah penting dan petunjuk untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Dalam Fattah 2012:135). Sedangkan kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi, membimbing, melalui interaksi individu dan kelompok sebagai wujud kerjasama di organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Masaong & Tilomi, 2011:150). Jadi, kebijakan pimpinan adalah hasil kerja yang ditunjukkan oleh pimpinan perguruan tinggi berdasarkan pemahamannya terhadap tugas pokok dan fungsinya masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Kompetensi dalam pasal 1 UU tentang Guru dan Dosen adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan oleh guru dan dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan (Dikti, 2010:90). 

Menurut Littrell dalam Hamzah (2008:62) kompetensi adalah kekuatan mental dan fisik untuk melakukan dan keterampilan yang dipelajari melalui latihan dan praktik. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Undang-Undang No.14 Tahun 2005). Dari berbagai penjelasan di atas dapatlah dikatakan bahwa kompetensi dosen adalah kemampuan individu dosen yang berkaitan dengan profesinya sebagai tenaga pengajar yang mencakup kemampuan kognitif, afektif, psikomotorik dan sosial. 

Pelayanan adalah suatu tindakan/ kebijakan penampilan yang salah satu bagian dapat ditawarkan kepada yang lain yang pada dasarnya tidak dapat dirasa dan tidak menghasilkan sesuatu apa yang dimiliki. Hal ini merupakan hasil yang tidak mungkin dihubungkan dengan hasil fisik (Kotler dalam Sarjono, 2007). Karyawan adalah Pegawai yang diangkat oleh Universitas indonesia yang dalam kegiatannya tidak melakukan kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Majelis Wali Amanat UI, 2003). Jadi pelayanan karyawan adalah upaya atau kegiatan yang dilakukan oleh karyawan perguruan tinggi untuk memberikan service kepada mahasiswa sesuai dengan tugas dan kewajibannya. 

Parasuraman dkk. (dalam Noermijati, 2010) mengatakan bahwa dalam jasa memiliki lima dimensi kualitas pelayanan yaitu; tangible (bukti fisik) berarti bahwa mahasiswa menghendaki adanya bukti yang dapat ditunjukan oleh karyawan yang dapat memuaskan mahasiswa seperti hal yang menyangkut ketepatan waktu, kemudahan, keramahan, dan interaksinya dengan mahasiswa. Reliable (kehandalan) dalam artian karyawan yang handal dalam mengerjakan tugas-tugas yang menjadi hak mahasiswa. Responsiveness (daya tanggap), berarti karyawan harus memiliki daya tanggap terhadap keluhan dan kebutuhan mahasiswa. Baik yang itu yang berkaitan dengan admnistrasi maupun hal lain yang menyangkut segala kebutuhannya. Assurance (jaminan) dalam artian karyawan harus memiliki pengetahuan, kompetensi, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya, bebas dari bahaya, resiko, atau keragu-raguan. Jaminan terhadap hal-hal tersebut akan ditunjukan lewat interaksi mahasiswa dengan pimpinan, dosen dan karyawan dalam lingkup akademis. Empathy (empati) yaitu meliputi kemudahan bagi mahasiswa dalam menjalin relasi, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan pemahaman kepada karyawan atas kebutuhan individu para mahasiswa. Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi mahasiswa tentang kontribusi kebijakan pimpinan, kompetensi dosen, dan pelayanan karyawan terhadap penjaminan mutu internal dan apakah dampaknya terhadap kepuasan mahasiswa. Kontribusi tersebut bisa apakah terjadi secara langsung atau melalui variabel antara dalam hal ini adalah penjaminan mutu internal.  

Metode Penelitian 

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan path analysis sebagai pisau analisisnya. Dilaksanakan pada STIH Muhammadiyah dan STAI Muhammadiyah Bima. Penelitian ini menggunakan lima instrumen penelitian yang dikembangkan dari hasil kajian teori. Instrumen tersebut dilakukan uji untuk mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas dan di uji cobakan kepada 30 responden dengan bantuan program SPSS for windows versi 16.0. 

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara dokumentasi dan angket (Sugiyono, 2011: 329). Hasil uji coba angket diperoleh 7 item soal yang tidak memenuhi standar validasi yaitu 1,3 dan 15 untuk item kepuasan mahasiswa, item nomor 3 dan 8 untuk kebijakan pimpinan, item nomor 12 untuk kompetensi dosen, dan item nomor 7 untuk pelayanan karyawan. Ketujuh item tersebut tidak di hapus hanya dilakukan perubahan redaksional. Angket disebar kepada 100 responden. Penentuan sampel berdasarkan standar minimal untuk path analisis. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa semua item angket dinyatakan valid. Dengan menggunakan metode belah dua maka didapat hasil perhitungan berada diatas 0.70. dengan demikian dikatakan reliable (Sugiyono, 2011). Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis statistik inverensial-parametrik karena instrumen penelitian berupa angket dan data berupa data interval dengan memakai skala Likert (Sugiyono, 2011). 

Untuk menguji hubungan variabel secara keseluruhan dengan kriteria rumusan sebagai berikut (Riduwan dkk, 2011: 136): Ha : ρzx1 = ρzx2 = ρzx3 = ρxy ≠ 0 H0 : ρzx1 = ρzx2 = ρzx3 = ρxy = 0 Sedangkan pengujian hubungan variabel secara individual menggunakan rumusan: Ha : ρzx1 / ρzx2 / ρzx3 / ρxy > 0 H0 : ρzx1 / ρzx2 / ρzx3 / ρxy = 0 Nilai probabilitas atau taraf signifikansi yang diharapkan agar memiliki nilai kontribusi adalah lebih dari atau sama dengan 0.05 (sig ≥ 0.05) maka Hipotesis alternatifnya (Ha) diterima, sedangkan hipotesis nuulnya (Ho) ditolak. Apabila nilai probabilitasnya kurang dari 0.05 (sig ≤ 0.05) hipotesis nuulnya (Ho) diterima. Rumus Model-1: Z = ρzx1 X1 + ρzx2X2 + ρzx3 X3 + ρzy Y + ρz ε1 dan rumus untuk mencari nilai ρz ε1 (variabel sisa) adalah ρz ε1 = 1 – R2zyx1x2x3. Dan Rumus Model-2 Y = ρyx1 X1 + ρyx2X2 + ρyx3 X3 + ρy ε2 dan rumus untuk mencari nilai ρy ε2 (variabel sisa) adalah ρy ε2 = 1 – R2yx1x2x3 (Riduwan dkk, 2011). Perhitungan dan Analisis data akan dilakukan dengan menggunakan SPSS 16.0.   

Hasil Penelitian dan Pembahasan Deskripsi data kepuasan mahasiswa didapat skor terendah 14 dan skor tertinggi 40 terdiri dari 15 soal angket dengan rata-rata skor angket sebesar 26,12 dengan penyimpangan sebesar 5,368. Penjaminan mutu internal diperoleh rentangan skor terendah 21 dan skor tertinggi 51 terdiri dari 16 soal angket dengan rata-rata skor angket sebesar 35,14 dengan penyimpangan sebesar 5,991. Kebijakan pimpinan diperoleh rentangan skor terendah 18 dan skor tertinggi 52 terdiri dari 10 soal angket dengan rata-rata skor angket sebesar 39,50 dengan penyimpangan sebesar 6,959. Kompetensi dosen diperoleh rentangan skor terendah 19 dan skor tertinggi 60 terdiri dari 13 soal angket dengan rata-rata skor angket sebesar 41,35 dengan penyimpangan sebesar 7,374. Pelayanan karyawan diperoleh rentangan skor terendah 11 dan skor tertinggi 38 terdiri dari 10 soal angket dengan rata-rata skor angket sebesar 26,08 dengan penyimpangan sebesar 4,702. Adapun hasil penelitiannya adalah sebagai berikut:

Pertama, kebijakan pimpinan (X1), kompetensi dosen (X2), pelayanan karyawan (X3), dan penjaminan mutu internal (Y) berpengaruh langsung secara simultan terhadap kepuasan mahasiswa (Z) dengan nilai Rsquare = 0.668 dan taraf signikansi 0.000 (0.000 < 0.05). dengan sumbangan efektif sebesar 66,8%. Penjaminan mutu internal sebagai variabel antaranya. 

Kedua, kebijakan pimpinan (X1) berpengaruh langsung secara kausal terhadap kepuasan mahasiswa (Z) (pengujian secara parsial) dengan nilai kontribusi sebesar 0.419 dan nilai sig 0.000 (β = 0.421, ρ < 0.05) dengan sumbangan efektif sebesar 17.5% dan memiliki hubungan tidak langsung melalui penjaminan mutu internal (Y) sebesar 0.493. 

Ketiga, kompetensi dosen (X2) berpengaruh langsung secara kausal terhadap kepuasan mahasiswa (Z) (pengujian secara parsial) dengan nilai kontribusi sebesar -0.134 dan nilai sig 0.535 (β = -0.134, ρ > 0.05) dengan sumbangan efektif sebesar 2% dan memiliki hubungan tidak langsung melalui penjaminan mutu internal (Y) sebesar 0.1. Keempat, pelayanan karyawan (X3) berpengaruh langsung secara kausal terhadap kepuasan mahasiswa (Z) (pengujian secara parsial) dengan nilai kontribusi sebesar 0.184 dan nilai sig 0.000 (β = 0.184, ρ < 0.05) dengan sumbangan efektif sebesar 3.3% dan memiliki hubungan tidak langsung melalui penjaminan mutu internal (Y) sebesar 0.249. 

Kelima, kebijakan pimpinan (X1) mempunyai kontribusi langsung yang signifikan terhadap kepuasan mahasiswa dengan sig 0.000 atau 0.05 > 0.000. Tetapi, tidak memiliki kontribusi yang tidak signifikan bila melalui jalur penjaminan mutu internal (Y) (sig > 0.05). Ini berarti bahwa untuk meningkatkan kepuasan mahasiswa tidak perlu melalui jalur penjaminan mutu internal (Y) tetapi harus langsung pada kebijakan pimpinan (X1). 

Keenam, kompetensi dosen (X2) tidak mempunyai kontribusi langsung yang signifikan terhadap kepuasan mahasiswa (Z) dengan sig 0.534 atau 0.05 < 0.534. Tetapi melalui jalur penjaminan mutu internal (Y) dengan sig 0.000 atau 0.05 > 0.000. Hal ini menandakan bahwa kepuasan mahasiswa terhadap kompetensi dosen harus melalui jalur variabel penjaminan mutu internal. 

Ketujuh, pelayanan karyawan (X3) tidak mempunyai kontribusi langsung yang signifikan terhadap kepuasan mahasiswa (Z) dengan sig 0.143 atau 0.05 < 0.143. Tetapi melalui jalur penjaminan mutu internal (Y) dengan sig 0.000 atau 0.05 > 0.000. Hal ini menandakan bahwa kepuasan mahasiswa terhadap pelayanan karyawan harus melalui jalur variabel penjaminan mutu internal. 

Kedelapan, kebijakan pimpinan (X1), kompetensi dosen (X2), dan pelayanan karyawan (X3), berpengaruh langsung secara simultan terhadap penjaminan mutu internal (Y) nilai Rsquare = 0.644 dan taraf signikansi 0.000 (0.000 < 0.05). dengan sumbangan efektif sebesar 64,4%. penjaminan mutu internal sebagai variabel antara. 

Kesembilan, kebijakan pimpinan (X1) berpengaruh langsung secara kausal terhadap penjaminan mutu internal (Y) (pengujian secara parsial) dengan nilai kontribusi sebesar 0.170 dan nilai sig 0.123 (β = 0.421, ρ < 0.05) dengan sumbangan efektif sebesar 2.9%. 

Kesepuluh, kompetensi dosen (X2) berpengaruh langsung secara kausal terhadap penjaminan mutu internal (Y) (pengujian secara parsial) dengan nilai kontribusi sebesar 0.537 dan nilai sig 0.000 (β = 0.537, ρ < 0.05) dengan sumbangan efektif sebesar 28.8%. 

Kesebelas, pelayanan karyawan (X3) berpengaruh langsung secara kausal terhadap penjaminan mutu internal (Y) (pengujian secara parsial) dengan nilai kontribusi sebesar 0.156 dan nilai sig 0.222 (β = 0.156, ρ > 0.05) dengan sumbangan efektif sebesar 2.4%. 

Keduabelas, penjaminan mutu internal (Y) berpengaruh langsung secara kausal terhadap kepuasan mahasiswa (Z) (pengujian secara parsial) dengan nilai kontribusi sebesar 0.436 dan nilai sig 0.000 (β = 0.436, ρ > 0.05) dengan sumbangan efektif sebesar 19%. Secara individual uji stitistik menunjukan antara kebijakan pimpinan dengan kepuasan mahasiswa memiliki kontribusi kausal sebesar 17.5%. Hal ini didukung oleh hasil pengukuran terhadap kebijakan pimpinan rata-rata skor angket sebesar 39,50 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 39,50. Dengan skor 38 menunjukan skor yang paling sering muncul sedangkan hasil pengukuran terhadap kepuasan mahasiswa diperoleh rata-rata skor angket sebesar 26,12 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 26,12 dengan menunjukan skor yang paling sering muncul (mode) adalah 30. Beberapa hasil penelitian menunjukan hasil yang sama. Sarjono (2007) menyatakan sumbangan efektif untuk kepemimpinan transformasional terhadap kepuasan mahasiswa sebesar 1.28%. Tetapi, yang membedakan dengan hasil penelitian ini adalah tingkat signifikan. Penelitian Sarjono tidak signifikan dalam penelitian ini hasilnya signifikan. Penelitian 

Derrik dkk (2010) antara komunikasi efektif terhadap kebijakan dengan tingkat signifikan 0.01. Walumbwa dkk (2011) menghassilkan bahwa kepemimpinan transformasional berpengaruh positif terhadap kebijakan bawahan (r=0.37, P < 0.01). Duan dkk (2010) Meneliti tentang keadilan pemimpin terhadap sikap komitmen bawahan menunjukan pengaruh yang positif (r = 0.45, P= 0.001). Dengan demikian antara hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya menunjukan hasil yang sama yaitu pengaruh yang positif dan kausal antara kebijakan pimpinan dengan kepuasan mahasiwa (β = 0.421, ρ<0 font="">

Secara individual uji stitistik menunjukan antara pelayanan karyawan dengan kepuasan mahasiswa kontribusinya sebesar 3.2%. Hal ini didukung oleh hasil pengukuran terhadap pelayanan karyawan diperoleh rata-rata skor angket sebesar 26,08 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 26,08. Dengan mode sebesar 29 menunjukan skor yang paling sering muncul. Sedangkan hasil pengukuran terhadap kepuasan mahasiswa diperoleh rata-rata skor angket sebesar 26,12 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 26,12 dengan menunjukan skor yang paling sering muncul (mode) adalah 30. Kenyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sawyer dkk. (2009) terhadap pelayan terhadap tujuh kepribadian karyawan, dan Prihantoro (2012) antara dimensi kualitas pelayanan jasa terhadap kepuasan mahasiswa. Dengan begitu hasil penelitian ini menunjukan pengaruh kausal antara pelayanan karyawan dengan kepuasan mahasiswa (β = 0.181, ρ > 0.05). 

Secara individual uji stitistik menunjukan antara penjaminan mutu internal dengan kepuasan mahasiswa kontribusinya sebesar 19%. Hal ini didukung oleh hasil pengukuran terhadap penjaminan mutu internal diperoleh rata-rata skor angket sebesar 35,14 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 35,14. Dengan menunjukan skor yang paling sering muncul adalah 34. Sedangkan hasil pengukuran terhadap kepuasan mahasiswa diperoleh rata-rata skor angket sebesar 26,12 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 26,12 dengan menunjukan skor yang paling sering muncul (mode) adalah 30. 

Hasil penelitian diatas sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jia Hu (2011) dalam penelitiannya menemukan bahwa mutu layanan berpengaruh positif terhadap kesetiaan pelanggan. Dengan demikian antara penjaminan mutu internal dengan kepuasan mahasiswa memiliki hubungan kausalitas (β = 0.436, ρ < 0.05). Mengacu pada hasil uji statistik diatas, secara simultan kebijakan pimpinan, kompetensi dosen dan pelayanan karyawan berpengaruh secara positif terhadap penjaminan mutu internal. Hasil perhitungan menunjukan kontribusi secara bersama–sama sebesar 64.4%. sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam penelitian ini. 

Adapun hubungan kausal secara individu adalah sebagai berikut: Secara individual uji stitistik menunjukan antara kebijakan pimpinan dengan penjaminan mutu internal kontribusinya sebesar 2.7%. Hal ini didukung oleh hasil pengukuran terhadap kebijakan pimpinan rata-rata skor angket sebesar 39,50 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 39,50. Dengan skor 38 menunjukan skor yang paling sering muncul. Sedangkan hasil pengukuran terhadap penjaminan mutu internal diperoleh rata-rata skor angket sebesar 35,14 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 35,14. Dengan menunjukan skor yang paling sering muncul adalah 34. Dengan asumsi adanya keterkaitan antara beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Sarjono (2007), Derik dkk. (2010), Walumbwa dkk (2010), Chiao (2011) dan Jackson (2009). 

Semua penelitian tersebut mendukung hasil penelitian ini dengan hasil bahwa kebijakan pimpinan berpengaruh positif terhadap penjaminan mutu internal perguruan tinggi (β = 0.170, ρ > 0.05). Secara individual uji stitistik menunjukan antara kompetensi dosen dengan penjaminan mutu internal kontribusinya sebesar 28.6%. Hal ini didukung oleh hasil pengukuran terhadap kompetensi dosen diperoleh rata-rata skor angket sebesar 41,35 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 41,35. Dengan mode sebesar 42 menunjukan skor yang paling sering muncul. Sedangkan hasil pengukuran terhadap penjaminan mutu internal diperoleh rata-rata skor angket sebesar 35,14 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 35,14. Dengan menunjukan skor yang paling sering muncul adalah 34. Penelitian yang searah dengan dan mendukung hasil penelitian ini adalah seperti yang dilakukan oleh Noermijati (2010), Giantari dkk (2008), Prihantoro (2012) dan Sahyar (2012). Semua penelitian mereka menunjukan adanya kontribusi yang positif antara kompetensi dosen terhadap penjaminan mutu internal (β = 0.537, ρ < 0.05). 

Secara individual uji stitistik menunjukan antara pelayanan karyawan dengan penjaminan mutu internal kontribusinya sebesar 2.6%. Hal ini didukung oleh hasil pengukuran terhadap pelayanan karyawan diperoleh rata-rata skor angket sebesar 26,08 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 26,08. Dengan mode sebesar 29 menunjukan skor yang paling sering muncul. Sedangkan hasil pengukuran terhadap penjaminan mutu internal diperoleh rata-rata skor angket sebesar 35,14 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 35,14. dengan menunjukan skor yang paling sering muncul adalah 34. Penelitian yang dilakukan oleh Sawyer dkk (2009), Prihantoro (2012) dan Wibowo (2009) menjadi patokan adanya hubungan antara pelayanan karyawan terhadap penjaminan mutu internal. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa antara pelayanan karyawan terhadap penjaminan mutu internal memiliki hubungan kausalitas yang positif (β = 0.165, ρ > 0.05).  

Simpulan  

Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana yang sudah dibahas di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 
  1. Kebijakan pimpinan, kompetensi dosen, pelayanan karyawan dan penjaminan mutu internal secara simultan berkontribusi secara signifikan terhadap kepuasan mahasiswa. Secara individu antara kebijakan pimpinan dengan kepuasan mahasiswa memiliki kontribusi yang signifikan. Tetapi, kebijakan pimpinan yang melalui jalur penjaminan mutu internal tidak memiliki kontribusi yang signifikan. Ini berarti bahwa untuk memperoleh kepuasan mahasiswa harus secara langsung melalui kebijakan pimpinan. Kompetensi dosen dengan kepuasan mahasiswa berpengaruh negative artinya tidak memiliki kontribusi yang signifikan. Tetapi, berkontribusi signifikan apabila melalui jalur penjaminan mutu internal, yang menandakan bahwa kepuasan mahasiswa terhadap kompetensi dosen harus melalui jalur penjaminan mutu internal. Sementara antara pelayanan karyawan dengan kepuasan mahasiswa secara langsung tidak berkontribusi signifikan. Tetapi, berkontribusi signifikan bila melalui jalur penjaminan mutu internal. 
  1. Secara simultan kebijakan pimpinan, kompetensi dosen dan pelayanan karyawan berkontrubusi dengan signifikan terhadap penjaminan mutu internal. Kebijakan berkontrubusi dengan signifikan terhadap penjaminan mutu internal. Ini berarti semakin baik kebijakan yang diberikan oleh pimpinan maka akan semakin baik mutu internal Perguruan Tinggi Muhammadiyah Bima. Jika kebijakan pimpinan rendah maka akan rendah pula penjaminan mutu internal. Hal yang sama juga terjadi antara kompetensi dosen dengan penjaminan mutu internal. Begitupun juga juga dengan pelayanan karyawan terhadap penjaminan mutu internal saling berkontrubusi secara signifikan. 
  2. Secara parsial antara penjaminan mutu internal dengan kepuasan mahasiswa berpengaruh secara positif. Ini berarti semakin baik penjaminan mutu yang dilakukan oleh lembaga dengan memaksimalkan kebijakan pimpinan, kompetensi dosen, dan pelayana karyawan sebagai variabel indpenden maka akan semakin terpuaskan perasaan mahasiswa dalam menempuh perkuliahan di PTM-Bima NTB.   

DAFTAR PUSTAKA 

Duan, Jingun, dkk 2010. ”Leadership Justice, Neagtife Organizational Behavior and Mediating Effect of Affektif Komitmen”, Journal Social Behavior and Personality, Vol. 38, Hal. 1287-1296. 

Ebta Setiawan, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline Versi 1.3, (http://ebsoft.web.id) di Download 07 Maret ‎2012, ‏‎Jam 8:48:07 Wib. 

Fattah, Nanang, 2012, Analisis Kebijakan Pendidikan, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya. 

Fatos Silman, Huseyin Gokcekus & Aytekin Isman, 2012, A Study on Quality Assurance Activities in Higher Education in North Cyprus, International Online Journal of Educational Sciences, 2012, 4(1), 31-38. ‎ 

Kadim, Masaong & Timoli, Arfan A. 2011. Kepemimpinan Berbasis Multiple Intelligence: Sinergi Kecerdasan Intelektual, Emosional dan Spiritual Untuk Meraih Kesuksesan yang Gemilang, Bandung, Alfabeta. 

Kementrian Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2010. Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi (SPM-PT), Jakarta. Keputusan Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia, Anggaran Rumah Tangga, Nomor: 01 /SK/MWA-UI/2003. ‎ 

Lung Chiau, Wen, dkk., 2011, Perceptions Of The Impact Of Chief Executive Leadership Style On Organizational Performance Through Successful Enterprise Resource Planning, Social Behavior And Personality, 2011, 39 (7), 865-878. 

Noermijati, 2010, ”Kajian Tentang Kepuasan Mahasiswa Terhadap Kebijakan Dosen Di Fakultas Ekonomi Unibraw”, Journal Of Manajemen Business review, Volume 7 No. 1, Januari 2010, Hal. 33-43. 

Sallis, Edward, 2011. Total Quality Manajemen In Education: Manajemen Mutu Pendidikan, Jakarta, IRCiSod. 

Sarjono, Yetty, 2007, Faktor- Faktor Strategik Pelayanan Dosendan Dampaknya Terhadap Kepuasan Mahasiswa FKIP Universitas Muhamadiyah Surakarta Tahun Akademik 2005-2006, Varidika, Vol. 19, No. 1, 2007. 

Sahyar, 2009, Pengaruh Kompetensi Dosen Dan Proses Pembelajaran Terhadap Kepuasan Mahasiswa. Pekbis Jurnal, Vol.1, No.3, November 131-139. 

Silman, Fatos dkk, A Study On Quality Assurance Actifities In Higher Education In North Cyprus, Internastional Online Journal of Educational Scinces, 2012 4 (1), 31-38. 

Sopiatin, Popi, 2010, Manajemen Belajar Berbasis Kepuasan Siswa, Bogor, Ghalia Indonesia. Srinadi, 2008, Faktor-Faktor Penentu Kepuasan Mahasiswa Terhadap Pelayanan Fakultas Sebagai Lembaga Pendidikan, Jurnal Cakrawala Pendidikan, Th. XXVII, No. 3. Hal 217-231 

Sudarmanto, 2009, Kebijakan dan Pengembangan Kompetensi SDM, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 

Sugiyono, 2011, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Cet. 13, Bandung, Alfabeta. 

Supranto, J. 2011, Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan: Untuk Menaikan Pangsa Pasar,Jakarta, Rineke Cipta. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen . 

Uno, Hamzah, 2008, Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, Jakarta, Bumi Aksara. 

Walumbwa, Fred O. Lamp; Hartnell, Chad A., 2011, Understanding Transformational Leadership Employee Performance Links: The Role of Relational Identification and Self-Efficacy, Journal of Occupational and Organizational Psychology (2011), 84, Hal. 153–172. 

Webb, Kerry S. 2009, Creating Satisfied Employees In Christian Higher Education: Research On Leadership Competencies, Christian Higher Education, 8: Hal. 18–31. 

Winarsih, Sri, 2007. “Pengaruh Persepsi Mutu Pembelajaran Praktek Laboratorium Kebidanan Terhadap Kepuasan Mahasiswa Di Program Studi Kebidanan Magelang Poltekkes Semarang Tahun 2007” Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Total Tayangan Laman

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *