Sabtu, 08 Maret 2014

Jaringan Islam Liberal; Sekularis Berkedok Muslim


Islam liberal adalah nama sebuah gerakan dan aliran pemikiran yang bermula dari sebuah ajang kongkow-kongkow di Jalan Utan Kayu 69H, Jakarta Timur. Tempat ini sejak 1996 menjadi ajang pertemuan para seniman sastra, teater, musik, film, dan seni rupa. Di tempat itu pula Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang salah satu motor utamanya Ulil Abshar Abdalla berkantor. Bersama Goenawan Mohammad (mantan pemimpin redaksi Tempo) serta sejumlah pemikir muda seperti Ahmad Sahal, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib dan Saiful Mujani, Ulil kerap Menggelar diskusi bertema ‘pembaruan’ pemikiran Islam.

Setelah berdiskusi sekian lama pada akhir 1999 Ulil dan kawan-kawan sepakat memperkenalkan serta mengkampanyekan pemikiran mereka dengan bendera Islam Liberal. Lalu untuk mengintensifkan kampanyenya mereka membentuk wadah Jaringan Islam Liberal (JIL) pada Maret 2001.

Dengan ditunjang kucuran dana dari Asia Foundation kampanye Islam liberal gencar dilancarkan melalui berbagai cara. Mulai dari forum kajian dan diskusi, media cetak hingga media elektronik. Media internet juga tak ketinggalan mereka garap. Mula-mula dengan membuat forum diskusi internet (mailing list) kemudian dilanjutkan dengan membuat situs web, alamatnya www.islamlib.com.

Kampanye lewat media cetak dilakukan sangat gencar. Selain melalui majalah seperti Tempo dan Gatra, JIL mendapat porsi publikasi besar di koran Jawa Pos dan 40 koran daerah yang tergabung dalam Jawa Pos-Net. Dengan nama rubrik Kajian Utan Kayu, setiap hari Ahad JIL mendapat jatah satu halaman penuh untuk diisi tulisan para pengusung ide Islam liberal, antara lain Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Jalaluddin Rakhmat dan Masdar F Mas’udi.

Kampanye melalui media elektronik mula-mula cuma disuarakan melalui kantor berita radio 68H yang mengudarakan dialog interaktif setiap Kamis sore. Belakangan siaran itu kemudian di-relay oleh tak kurang 15 stasiun radio se-Indonesia yang tergabung dalam jaringan 68H, sehingga dapat disimak oleh para pendengar dari Aceh hingga Manado. Di Jakarta siaran JIL di-relay oleh stasiun radio dangdut Muara FM.

Adapun istilah Islam liberal dipilih oleh kalangan JIL untuk menamakan gerakan dan pemikiran mereka, nampaknya lantaran mereka mendapat insipirasi dari buku Liberal Islam: A Sourcebook karya Chares Kurzman (edisi bahasa Indonesia berjudul Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, diterbitkan oleh Paramadina), sebab dari buku itu pula JIL meminjam enam agenda rumusan Charles Kurzman. Enam isu itu: antiteokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-Muslim, kebebasan berpikir dan gagasan tentang kemajuan.

Anti Islam Kaffah

Mengapa JIL begitu gencar menyebarluaskan pemikirannya? Seperti diakui oleh para pentolannya, meski nama Islam liberal baru dikenal belakangan ini, sebenarnya Islam liberal bukanlah suatu pemikiran baru. Di Indonesia pemikiran Islam liberal telah dirintis oleh antara lain Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Munawir Sjadzali dan Abdurrahman Wahid. Mereka adalah orang-orang yang sejak tahun 1970-an dan 1980-an menggelindingkan ide ‘pembaruan Islam’, berupa Islam rasional, dekonstruksi syariah dan sekulerisasi. Namun, kata Ulil Abshar kepada Gatra, para perintis itu gagal memasyarakatkan gagasan Islam liberal ke masyarakat.


Kegagalan itu antara lain karena tidak adanya pengorganisasian secara sistematis. Atau, menurut Luthfi Assyaukanie, gerakan Islam liberal sebelum ini terlalu elitis. Gagasan itu lebih banyak dibawa kalangan akademisi dan peneliti yang tak mengakar ke masyarakat, sehingga opini publik tetap dikuasai oleh kalangan Islam ‘konservatif’ yang memiliki jaringan kuat dan mengakar ke masyarakat. Karena itu, kalangan JIL merasa perlu memiliki jaringan kuat agar pemikiran liberal bisa berkompetisi dengan pemikiran kaum revivalis. Dengan kata lain, Islam liberal adalah tandingan Islam revivalis.


Apa beda Islam liberal dan Islam revivalis? Charles Kurzman mendefinisikan, Islam revivalis berusaha mengembalikan kemurnian Islam seperti di zaman Rasulullah, tetapi tidak ramah dengan kehadiran modernitas. Sedangkan Islam liberal, masih kata Kurzman, menghadirkan masa lalu Islam untuk kepentingan modernitas. “Ia menghargai rasionalitas,” kata Kurzman. Sebuah pengkategorian yang sangat layak diperdebatkan. Tapi lepas dari perdebatan itu, menurut kalangan JIL, dalam konteks Indonesia, kaum revivalis adalah mereka yang mendukung penegakan syariat Islam oleh negara dan menolak sekulerisme. Sebaliknya, kaum Islam liberal adalah mereka yang mendukung sekulerisme dan menentang penegakan syariat Islam oleh negara.

Pemikiran revivalis, katakanlah begitu, tercermin dalam FPI (Front Pembela Islam), atau Laskar Jihad yang lebih kuat, atau jaringan PK (Partai Keadilan) yang lebih mengakar,” kata Ulil menyebut lawan tandingnya.

Untuk menandingi kalangan revivalis, kini JIL telah menyusun sejumlah agenda, antara lain: kampanye sekulerisasi seraya menolak konsep Islam kaffah (total) dan menolak penegakan syariat Islam, menjauhkan konsep jihad dari makna perang, penerbitan Al-Quran edisi kritis, mengkampanyekan feminisme dan kesetaraan gender serta Pluralisme. “Menurut saya, beragama secara kaffah itu tidak sehat dilihat dari pelbagai segi? Agama yang ‘kaffah’ hanya tepat untuk masyarakat sederhana yang belum mengalami ’sofistikasi’ kehidupan seperti zaman modern? Beragama yang sehat adalah beragama yang tidak kaffah,” ungkap Ulil dalam rubrik Kajian Utan Kayu Jawa Pos.

Tapi tentu saja kalangan yang disebut revivalis juga tak akan tinggal diam. Mereka juga telah menyusun agendanya sendiri, meski mungkin tanpa gembar-gembor kampanye seperti yang dilakukan kalangan JIL. Yang penting bekerja saja. Tinggal dilihat nanti siapa yang lebih ditolong Allah: mereka yang berjuang menegakkan syariat Allah atau mereka yang alergi kepada syariat-Nya.?

Filsafat Pendidikan


Idealisme

Para murid yang menikmati pendidikan di masa aliran idealisme sedang gencar-gencarnya diajarkan, memperoleh pendidikan dengan mendapatkan pendekatan secara khusus. Sebab, pendekatan dipandang sebagai cara yang sangat penting. Giovanni Gentile pernah mengemukakan, “Para guru tidak boleh berhenti hanya di tengah pengkelasan murid, atau tidak mengawasi satu persatu muridnya atau tingkah lakunya. Seorang guru mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari anak didik, sehingga kalau perlu ia berkumpul hidup bersama para anak didik. Guru jangan hanya membaca beberapa kali spontanitas anak yang muncul atau sekadar ledakan kecil yang tidak banyak bermakna.


Bagi aliran idealisme, anak didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini dapat dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual.


Sejak idealisme sebagai paham filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola pendidikan yang diajarkan fisafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham idealisme terbagai atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan campuran antara keduanya.


Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia. Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.


Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi sebagai: (1) guru adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik; (2) guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa; (3) Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik; (4) Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid; (5) Guru menjadi teman dari para muridnya; (6) Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar; (7) Guru harus bisa menjadi idola para siswa; (8) Guru harus rajib beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya; (9) Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif; (10) Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya; (11) Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar; (12) Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil; (13) Guru haruslah bersikap dmokratis dan mengembangkan demokrasi; (14) Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.


Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi sebagai:
Guru adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik;


Guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa;


Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik;


Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid;


Guru menjadi teman dari para muridnya;


Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar;


Guru harus bisa menjadi idola para siswa;


Guru harus rajib beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya;


Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif;


Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya;
Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar;


Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil;


Guru haruslah bersikap dmokratis dan mengembangkan demokrasi;


Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.






Realism


Aliran filsafat realisme berpendirian bahwa pengetahuan manusia itu adalah gambaran yang baik dan tepat dari kebenaran. Konsep filsafat menurut aliran realisme adalah: (1) Metafisika-realisme; Kenyataan yang sebenarnya hanyalah kenyataan fisik (materialisme); kenyataan material dan imaterial (dualisme), dan kenyataan yang terbentuk dari berbagai kenyataan (pluralisme); (2) Humanologi-realisme; Hakekat manusia terletak pada apa yang dapat dikerjakan. Jiwa merupakan sebuah organisme kompleks yang mempunyai kemampuan berpikir; (3) Epistemologi-realisme; Kenyataan hadir dengan sendirinya tidak tergantung pada pengetahuan dan gagasan manusia, dan kenyataan dapat diketahui oleh pikiran. Pengetahuan dapat diperoleh melalui penginderaan. Kebenaran pengetahuan dapat dibuktikan dengan memeriksa kesesuaiannya dengan fakta; (4) Aksiologi-realisme; Tingkah laku manusia diatur oleh hukum-hukum alam yang diperoleh melalui ilmu, dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh kebiasaan-kebiasaan atau adat-istiadat yang telah teruji dalam kehidupan.


Dalam hubungannya dengan pendidikan, pendidikan harus universal, seragam, dimulai sejak pendidikan yang paling rendah, dan merupakan suatu kewajiban. Pada tingkat pendidikan yang paling rendah, anak akan menerima jenis pendidikan yang sama. Pembawaan dan sifat manusia sama pada semua orang. Oleh karena itulah, metode, isi, dan proses pendidikan harus seragam. Namun, manusia tetap berbeda dalam derajatnya, di mana ia dapat mencapainya. Oleh karena itu, pada tingkatan pendidikan yang paling tinggi tidak boleh hanya ada satu jenis pendidikan, melainkan harus beraneka ragam jenis pendidikan. Inisiatif dalam pendidikan terletak pada pendidik bukan pada peserta didik. Materi atau bahan pelajaran yang baik adalah bahan pelajaran yang memberi kepuasan pada minat dan kebutuhan pada peserta didik. Namun, yang paling penting bagi pendidik adalah bagaimana memilih bahan pelajaran yang benar, bukan memberikan kepuasan terhadap minat dan kebutuhan pada peserta didik. Memberi kepuasan terhadap minat dan kebutuhan siswa hanyalah merupakan alat dalam mencapai tujuan pendidikan, atau merupakan strategi mengajar yang bermanfaat.


Menurut Power (1982), implikasi filsafat pendidikan realisme adalah sebagai berikut: (1) Tujuan: penyesuaian hidup dan tanggung jawab sosial; (2) Kurikulum: komprehensif mencakup semua pengetahuan yang berguna berisi pentahuan umum dan pengetahuan praktis; (3) Metode: Belajar tergantung pada pengalaman baik langsung atau tidak langsung. Metodenya harus logis dan psikologis. Metode pontiditioning (Stimulua-Respon) adalah metode pokok yang digunakan; (4) Peran peserta didik adalah menguasai pengetahuan yang handal dapat dipercaya. Dalam hal disiplin, peraturan yang baik adalah esensial dalam belajar. Disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang baik; (5) Peranan pendidik adalah menguasai pengetahuan, terampil dalam teknik mengajar dan dengan keras menuntut prestasi peserta didik.


Existensialisme


Pandangan Eksistensialisme dan Penerapannya di bidang pendidikan


1) Pendidikan adalah yang membantu seorang individu untuk mewujudkan yang terbaik yang dia mampu. Dengan demikian pendidikan harus membantu individu untuk mewujudkan faktisitas ~ (kontingensi) keberadaannya untuk menghadapi kategori faktisitas ini - ketakutan, kesedihan, kecemasan dan ketakutan - tegas dan berani dan akhirnya mempersiapkan dirinya untuk menemui kematian dengan senang hati.


2) Pendidikan untuk kebahagiaan adalah doktrin berbahaya karena tidak ada kebahagiaan tanpa rasa sakit dan ekstasi tidak tanpa penderitaan. Oleh karena itu, Eksistensialis akan menyambut pendidikan, yang melempar terbuka untuk anak-anak menderita, manusia kesengsaraan, penderitaan dan tanggung jawab mengerikan kehidupan dewasa.


3) Siswa harus mengembangkan skala konsisten nilai-nilai, mengotentikasi keberadaan mereka dengan menjadi berkomitmen untuk nilai-nilai dan bertindak sebagai harus siap mati untuk nilai-nilai daripada hidup tanpa mereka. Dyning untuk negara sendiri itu merupakan pengorbanan tertinggi.


4) Setiap individu adalah unik. Pendidikan harus mengembangkan dalam dirinya keunikan ini. Ini harus memenuhi perbedaan individual.


5) Pendidikan harus membuat murid menyadari kemungkinan tak terbatas kebebasan dan tanggung jawab ia harus menanggung dalam hidup.


6) Tujuan yang paling penting dalam pendidikan adalah menjadi seseorang manusia sebagai salah satu yang hidup dan membuat keputusan tentang apa yang dia akan melakukan dan menjadi. Mengetahui? dalam arti mengetahui diri sendiri, hubungan sosial, dan pengembangan biologi, semua adalah bagian dari menjadi. Eksistensi manusia dan nilai yang berkaitan dengannya adalah pabrik utama dalam pendidikan.


7) Pendidikan untuk pengembangan kepribadian lengkap.


8) Lebih pentingnya pengetahuan subjektif dari pengetahuan obyektif.


9) Pendidikan untuk kesempurnaan manusia dalam lingkungannya.


10) Pendidikan harus menciptakan kesadaran untuk diri sendiri.


11) Pendidikan harus melatih manusia untuk membuat pilihan yang lebih baik dan juga memberikan orang ide bahwa karena pilihan-Nya tidak pernah sempurna, konsekuensi tidak dapat diprediksi.


12) Tujuan utama pendidikan adalah untuk membuat manusia sadar akan tujuan, untuk memberikan pemahaman tentang keberadaannya dan akhirnya membawanya ke tempat tinggal surgawi. Jadi, jelas bahwa eksistensialisme menerima prinsip pendidikan liberal.


Total Tayangan Laman

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *