Kamis, 01 Februari 2018

Pelaksanaan Hukum Waris Di Kelurahan Penanae–Kota Bima

IKSAN
Email: arrahman_ainul@yahoo.co.id

Abstrak: Dalam perspektif hukum islam, hukum waris merupakan hal yang sangat fundamental sebagai alat peredam timbulnya konflik dalam pembagian harta warisan. Masyarakat Kelurahan Penanae yang mayoritas muslim menjadi pusat penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pola pembagian warisan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut. Penelitian ini menggunakan metode survey dengan alat pengumpul datanya menggunakan angket. Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat Penenae Pertama, masih banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa islam telah mengatur pembagian harta warisan sebagaimana yang termuat dalam al Quran, hadits Nabi dan apa yang dilakukan oleh para sahabat Nabi. Untuk itu, agar tercipta pemahaman yang utuh terkait islam khususnya hukum mawaris diperlukan adanya upaya yang serius dari para ahli hukum islam, baik melalui dakwah maupun seminar yang dilakukan oleh dosen maupun Da`i di Muhammadiyah dalam rangka memberikan pemahaman terkait hukum mawaris. Kedua, perlunya sosialisasi kepada masyarakat kelurahan Penanae khususnya terkait peran Pengadilan yang tidak hanya mengurus masalah perceraian tetapi juga masalah pembagian harta warisan dan atau harta gono gini.

Abstract: In the perspective of Islamic law, the law of inheritance is very fundamental as a silencer of conflict in the division of the inheritance. Village community Penanae the Muslim majority become the center of research done to determine the pattern of inheritance is done by the community. This study used survey method by means of collecting data using questionnaires. The results showed that people Penenae First, there are still many people who do not know that Islam has arranged the division of inheritance, as contained in the Koran, hadith of the Prophet, and what was done by the Prophet's companions. Therefore, in order to create a holistic understanding of Islam in particular related to inheritance law that serious efforts are required from experts in Islamic law, either through propaganda or seminars conducted by lecturers and Da`i in Muhammadiyah in order to provide an understanding related to inheritance law. Second, the need to disseminate to the public urban village Penanae particularly relevant to the role that the Court not only took care of the problem but also a problem of divorce division of property inheritance and or Gono gini property.

A.  PENDAHULUAN
Hukum waris dalam tradisi umat manusia dari dulu sampai dengan hari ini adalah sesuatu yang sangat fundamental. Tradisi ini tetap terpelihara dari generasi ke generasi dalam rangka menyaluarkan harta kekayaan yang ditinggal mati oleh pewaris. Dalam tradisi ini paling tidak ada pola masyarakat dalam membagi harta warisan; pertama penggunaan hukum islam, penggunaan hukum adat, ketiga pembagian yag didasarkan pada keinginan pembagi atau atas tradisi keluarga.
Pembagian harta warisan dalam beberapa kasus telah banyak melahirkan silang sengketa antara ahli waris. Sengketa ini bisa terjadi antara ibu dengan anak, antara anak dengan anak dan lain-lain. Hal ini terjadi ketika pembagian harta warisan dirasa oleh sebagaian yang lain tidak adil. Ketidakadilan yang dianggap oleh sebagain ahli waris ini dilatar belakangi oleh ketidaktahuan mereka dalam ilmu pembagian harta warisan.
Tradisi islam dalam membagi harta warisan dapat di lihat urgennya berdasarkan al Quran surat Annisa ayat 11-14 dan hadits rasulullah SAW. Berangkat dari al Quran dan hadits tersebut, ilmu waris merupakan ilmu sangat fundamental dalam penataan kehidupan sosial umat islam. Pentingnya ilmu waris ini sampai-sampai Rasulullah mengatakan bahwa ia merupakan setengah dari ilmu-ilmu yang ada dalam islam. Dan bahkan beliau menubuatkan bahwa ilmu yang pertama kali dicabut adalah ilmu waris ketika rententan akhir masa akan dimulai.
Nubuatan dari Rasullulah inipun nampaknya sudah mulai terjadi, di mana ummat islam sekarang sudah mengesampingkan ilmu terkait dengan hukum waris. Sehingga, yang terjadi adalah pembagian harta warisan bukan lagi berdasarkan dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah yang kemudian diwarisi oleh para sahabat Rasul untuk kemudian sampai kepada kita sekarang ini. Namun, pembagian harta warisan lebih pada kebiasaan-kebiasan yang melenceng dari ajaran islam sehingga sering terjadi konflik kepentingan.
Dengan merujuk pada tiga landasan pembagian waris sebagaimana yang telah diuraikan di atas peneliti mencoba menggali pembagian warisan yang dilakukan oleh masyarakat kelurahan Penanae Kecamatan Raba Kabupaten Bima-NTB. Cara pembagian warisan ini sangat penting untuk memetakkan bagaimana sebenarnya perilaku masyarakat penanae khususnya dalam proses pembagian harta warisan. 

B.  TINJAUAN PUSTAKA
Hukum islam tentang warisan telah menimbulkan revolusi diam-diam dalam seluruh filsafat pembagian kekayaan, serta memperkenalkan tekhnik yang baru, yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Ini semua untuk meningkatkan kekayaan nasional melalui peran serta wanita dalam kegiatan ekonomi.
Terkait term hukum waris dalam tradisi islam dikenal dengan nama ilmu faraidh. Ilmu faraidh adalah ilmu yang mempelajari tentang pembagian harta warisan menurut ketentuan Allah dan Rasulnya. Menurut Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At Tuwaijry mendefinisikan Ilmu Faraidh adalah Ilmu yang menerangkan tentang siapa yang berhak mendapat warisan, dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa bagian setiap ahli waris (At-Tuwaujiri, 2012).
Sementara ahli lain menerangkan bahwa Ilmu waris adalah seperangkat ketentuan yang membahas tentang cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan kepada Wahyu Illahi yang terdapat dalam Al-Qur’an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam istilah arab disebut Faraid (Idris D. dan Taufik Y. dalam Pazneliza, 2010).
Menurut Encyclopedia Of Sosial Sciences sebagaimana dikutip Abdul Manan, warisan adalah harta benda orang mati yang diberikan kepada orang yang hidup, dan terdapat dalam satu bentuk di mana lembaga harta benda pribadi diakui sebagai dasar sistem sosial dan ekonomi. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa bentuk dari warisan sesungguhnya dan hukum serta adat isitiadat yang mengaturnya sangat berbeda disetiap negeri, masa demi masa (Abdul Manan, 1993:135).
Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan ada lima, dilaksanakan secara berurutan jika semuanya ada, sebagaimana dibawah ini :
1.      Dikeluarkan dari harta warisan untuk penyelesaian kebutuhan mayit, seperti kain kafan dan lainnya.
2.      kemudian hak-hak yang berhubungan dengan barang yang ditinggalkan, seperti hutang dengan sebuah jaminan barang dan semisalnya.
3.      Kemudian pelunasan hutang, baik itu yang berhubungan dengan Allah seperti zakat, kaffarat dan semisalnya, ataupun yang berhubungan dengan manusia.
4.      Kemudian pelaksanakan wasiat.
5.      kemudian pembagian warisan dan inilah yang dimaksud dalam ilmu ini (At-Tuwaijiri, 2012).
Rukun waris menurut At-Tuwajiri (2012) ada tiga :
1.      Yang mewariskan, yaitu mayit.
2.      Yang mewarisi, yaitu orang yang masih hidup setelah meninggalnya yang mewariskan.
3.      Hak yang diwaris, yaitu harta peninggalan.
Sebab-sebab mendapat warisan ada tiga :
1.      Nikah dengan akad yang sah, hanya dengan akad nikah maka suami bisa mendapat harta warisan istrinya dan istripun bisa mendapat warisan dari suaminya.
2.      Nasab (keturunan), yaitu kerabat dari arah atas seperti kedua orang tua, keturunan seperti anak, ke arah samping seperti saudara, paman serta anak-anak mereka.
3.      Perwalian, yaitu ashobah yang disebabkan kebaikan seseorang terhadap budaknya dengan menjadikannya merdeka, maka dia berhak untuk mendapatkan warisan jika tidak ada ashobah dari keturunannya atau tidak adanya ashab furudh (Al-Utsaimin, 2007).
Syaik Al Utsaimin (2007) mengatakan ada tiga hal yang menghalangi seseorang mendapat warisan yaitu:
1.      Perbudakan: Seorang budak tidak bisa mewarisi dan tidak pula mendapat warisan, karena dia milik tuannya.
2.      Membunuh tanpa alasan yang dibenarkan: Pembunuh tidak berhak untuk mendapat warisan dari orang yang dibunuhnya.
3.      Perbedaan agama: seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafirpun tidak mewarisi orang Muslim.
Sebagaimana termuat dalam al Quran At-Tuwaijiri (2012) menyusun ahli waris dari pihak laki-laki terdiri dari 14 unsur yaitu:
1.      Anak laki-laki
2.      Cucu laki-laki
3.      Ayah
4.      Kakek
5.      Saudara laki-laki sekandung
6.      Saudara laki-laki sebapak
7.      Saudara laki-laki seibu
8.      Anak laki-laki dari saudara laki (cucu lk/pr)
9.      Anak laki-laki dari saudara laki seayah
10.  Suami
11.  Paman sekandung
12.  Paman seayah
13.  Sepupu laki-laki sekandung
14.  Sepupu laki-laki seayah
Sementara Ahli waris dari pihak perempuan terdiri dari 10 unsur yaitu (At-Tuwaijiri, 2012):
1.      Anak perempuan
2.      Istri
3.      Anak perempuan dari anak laki-laki
4.      Ibu
5.      Nenek dari pihak ibu
6.      Nenek dari ayah
7.      Ibunya kakek
8.      Saudara perempuan sekandung
9.      Saudara perempuan seayah
10.  Saudara perempuan seibu
Disamping hukum waris islam sebagaimana yang dijelaskanan dalam teori di atas ada juga dikenal hukum waris yang dibuat oleh negara. Hukum waris ini tertuang dalam kompilasi hukum islam, dengan semangat nasionalis yang menggabungkan hukum waris islam dengan hukum nasional. Hukum kewarisan sebagaimana yang tertuang dalam KHI adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Dalam KHI dijelaskan bahwa Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Sedangkan Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Sementara itu dalam KHI Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Dan satu lagi hukum waris yang diakui secara nasional di Indonesia adalah hukum waris adat. Hukum waris adat merupakan cerminan dari hukum adat masyarakat Indonesia. Hukum waris adat memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris, serta cara harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya (Hadikusuma dalam Karani, 2010).
Sementara itu, hukum waris adat selalu didasarkan atas pertimbangan kebiasaan, hal ini mengingat wujud benda dan kebutuhan waris bersangkutan. Jadi walaupun hukum waris adat mengenal asas kesamaan hak tidak berarti bahwa setiap waris akan mendapat bagian warisan dalam jumlah yang sama, dengan nilai harga yang sama atau menurut banyaknya bagian yang sudah tertentu (Hadikusuma dalam Karani, 2010). Kendati akar lahirnya hukum waris adat tidak jelas, hukum waris adat dalam proses pembagian harta warisan berdasarkan pada kehendak masing-masing ahli waris yang sudah tentu antara satu rumpun keluarga dengan keluarga yang lain juga memiliki adat yang berbeda dalam pembagian harta warisan. Hukum waris adat juga terkadang digabung dengan hukum waris islam dalam proses pembagian harta waris.

C.  METODE PENELITIAN
          Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode kualitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme. Metode ini juga disebut artisitik, karena proses penelitian lebih bersifat seni (Sugiyono, 2011: 13). Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian survey di mana penelitian survey merupakan penelitian untuk mengkaji populasi yang besar maupun yang kecil dengan menyeleksi seta mengkaji sampel yang dipilih dari populasi untuk menemukan insidensi, distribusi dan interelasi relatif dari variabel- penelitian (Kerlinger, 2000:660).

Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian yang peneliti pilih adalah di kelurahan penanae kecamatan Raba Kota Bima-NTB. Di mana pada saat ini di keluarahan penanae terdiri dari lingkungan penanae Barat, penanae Timur dan Wenggo. Tempat ini peneliti pilih karena merupakan tempat tinggal peneliti.

Polulasi dan Sampel
Populasi adalah keadaan dari keseluruhan subyek penelitian (Sugiyono, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat Kelurahan Penenae Kecamatan Raba Kota Bima.
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2011:118). Pengambilan sampel harus mempertimbangkan tenaga, biaya dan waktu sehingga untuk mengatasi-keterbatasan tersebut peneliti mengambil sample secara random. Sementara penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 100 orang.
Pemberian kesempatan yang sama bagi responden untuk menjadi sampel penelitian merupakan hal yang mesti dilakukan oleh peneliti untuk memperoleh data secara obyektif. Untuk itu, dalam rangka memberikan kesempatan yang sama ini penulis menggunakan teknik acak. Adapun jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 50 orang dengan mempertimbangkan aspek proporsional dan memberikan kesempatan sama bagi populasi penelitian.
                        Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner (angket). Kuesioner atau angket adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab (Sugiyono, 2011:199).
Teknik Analisa Data
 Analisis data adalah mengelompokan data berdasarkan variabel dan jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variabel dari seluruh responden, menyajikan data tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah, dan melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan (Sugiyono, 2011: 207). Teknik analisa yang digunakan adalah teknik analisa deskriptif, dimana peneliti akan memberikan analisa dan gambaran terhadap hasil survey untuk diambil kesimpulan secara general.

D.   HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.         Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Luas wilayah kelurahan Penanae yaiut 5,34 km2 dengan persentase wilayah dari seluruh kelurahan di Kecamatan Raba sebesar 8,38%. Kelurahan penanae berbatasan langsung Kelurahan Penaraga di timur, kelurahan Kendo disebelah barat, persawahan penanae Ntobo di sebelah utara, dan persawahan penaraga disebelah selatan (BPS Kota Bima).
Jumlah penduduk dikelurahan Penanae sebanyak 3.976 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 1.974 jiwa dan jumlah perempuan sebanyak 2.002 jiwa. Jumlah kelurahan Penanae sebanyak  990 rumah tangga dengan rata-rata anggota rumah tangga 4 orang.
Data petaninya di bagi dalam empat (4) kategori; pemilik sejumlah 366, penggarap 311, buruh tani 630 dan peternak 516. Kendati demikian warga kelurahan penanae terkadang ada yang bertani sambil beternak ataupun sebaliknya. Adapun komposisi yang bekerja di Pemerintahan adalah PNS sebanyak 117 orang , TNI/POLRI sebanyak 5 orang, BUMN sebanyak 7 orang, dan guru 34 orang.
Dari segi kesejahteraan kelurahan Penanae memiliki data dengan kategori keluarga prasejahtera 161 Keluarga, keluarga sejahtera I 54 Keluarga,  keluarga sejahtera II 95 Keluarga, keluarga sejahtera III 113 Keluarga,  dan keluarga sejahtera III+  2 Keluarga. Dalam hal keagamaan kelurahan penanae yang beragama islam sebanyak 3.707 dan yang beragama katolik sebanyak 7 orang.

2.     Deskripsi Data
Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada metode penelitian, bahwa dalam penelitian ini peneliti menggunakan Metode survey yaitu suatu metode penelitan yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Dalam penelitian ini data dan informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner. Setelah data diperoleh kemudian hasilnya akan dipaparkan secara deskriptif dan pada akhir penelitan akan dianalisis gambaran tentang fakta-fakta, sifat dan hubungan antar gejala dengan penelitian penjelasan (explanatory research). 
Data hasil penelitian dengan judul pembagian harta warisan di kelurahan Penanae Kec. Raba Kota Bima menunjukan hasil sebagai berikut:
Pertama, pertanyaan yang berkaitan dengan pembagian warisan di PA dengan redaksi “Pernahkah Bapak/ibu/saudara melakukan pembagian harta waris di Pengadilan Agama?”. Dari pertanyaan tersebut diperoleh data bahwa 92% responden mengatakan Tidak dan 8% mengatakan Ya.

Kedua, pertanyaan yang berkaitan dengan Apakah Bapak/ibu/saudara tahu bahwa islam telah mengatur cara pembagian warisan. Dari pertanyaan ini diperoleh data 23% responden mengatakan tidak dan 77 responden mengatakan Ya. 

Ketiga, pertanyaan yang berkaitan dengan Bagaimanakah cara bapak ibu membagi harta warisan. Dari seratus orang responden, 18 orang  atau 18%  memilih menggunakan hukum adat, 38 orang atau 38 % menggunakan hukum islam, dan 44 orang atau 44% memilih pembagian harta dengan keinginan sendiri. Hal ini bisa dilihat pada Chart di bawah ini.

Keempat, pertanyaan yang berkaitan dengan Adakah dampak negatif dari pembagian harta waris yang dilakukan dengan hukum islam. Dari seratus orang responden 23 orang atau sebanyak 23% mengatakan Ya sementara 77orang atau 77% mengatakan Tidak.

Kelima, pertanyaan yang berkaitan dengan Adakah dampak negatif dari pembagian harta waris yang dilakukan dengan hukum adat. Dari seratus orang responden 22 orang atau sebanyak 23% mengatakan Ya sementara 78 orang atau 78% mengatakan Tidak.

Keenam, pertanyaan yang berkaitan dengan Adakah dampak negatif dari pembagian harta waris sesuai dengan keinginan Bapak/ibu/saudara sebagai ahli waris. Dari seratus orang responden 25 orang atau sebanyak 25% mengatakan Ya sementara 75 orang atau 75% mengatakan Tidak  

Ketujuh, pertanyaan yang berkaitan dengan Ketika suami/istri/ayah/ibu meninggal dunia apakah harta waris langsung dibagi. Sebagian besar responden 64 orang atau 64% mengatakan Tidak dan sisanya sebanyak 36 orang atau 36% mengatakan Ya.

Kedelapan, pertanyaan yang berkaitan dengan Kasus pembagian waris yang pernah Bapak/ibu/saudara alami. Dari seratus orang responden 61 orang atau sebanyak 61% mengatakan dengan saudara, 22 orang atau 22% mengatakan dengan orang tua, 15 orang atau 15% dengan anak, dan 2 orang atau 2% dengan suami/istri. 

Kesembilan, pertanyaan yang berkaitan dengan Berapa lama Bapak/ibu/ saudara menunggu pembagian harta waris. 53 orang responden atau sebanyak 53% mengatakan kurang dari 1 tahun, 28 orang responde atau 28% mengatakan 2 Tahun dan 19 orang responden atau 19% mengatakan lebih dari 3 tahun. 

Kesepuluh, pertanyaan yang berkaitan dengan Adilkah Bapak/ibu/saudara dalam memberikan nafkah terhadap anak (pendidikan/ kebutuhan/kendaraan/ rumah dll). 96 orang responden atau sebanyak 96% mengatakan Ya, sementara 4 orang atau atau 4% mengatakan Tidak. 

3.        Pembahasan  
Berdasarkan hasil pengumpulan data di atas maka, pembahasan dalam penelitian ini difokuskan pada sepuluh (10) pertanyaan sebagaimana yang diajukan pada angket/kuesioner yang disebarkan pada penelitian.
Pertama mengenai pembagian warisan di Pengadilan Agama, 92% responden mengatakan bahwa mereka tidak pernah melakukan pembagian harta warisan dipengadilan agama Bima. Hal ini patut dipertanyakan kenapa masyarakat kelurahan Penanae Kec. Raba Kota Bima tidak melakukan pembagian harta warisan di Pengadilan Agama Bima. Menurut asumsi sementara penulis, hal ini terjadi paling tidak disebabkan oleh tiga hal; pertama, adany ketidakpercayaan ketidakpercayaan masyarakat terhadap PA karena biaya perkara yang terlampau mahal. Kedua, masyarakat tidak mau repot-repot karena bisa membagi harta warisan berdasarkan tiga komponen pokok, yaitu membagi dengan hukum islam, membagi dengan hukum adat dan membagi dengan cara sendiri. Ketiga, kurangnya sosialisasi yang dilakukan Pengadilan Agama Bima terkait tugas dan kewenangannya yang tidak hanya mengatur masalah perceraian tetapi juga menyelesaikan masalah sengketa waris dan harta gono gini.
Hal ini bisa juga bisa kita lihat pada data ketiga yang diperoleh, di mana 38% responden menggunakan hukum islam sebagai rujukan dalam pembagian harta warisan, 18% memilih menggunakan hukum adat, dan 44% memilih pembagian harta dengan keinginan sendiri. Dari hasil ini dapatlah dilihat bahwa masyarakat kelurahan Penanae dalam membagi harta warisan menggunakan tiga cara tersebut. Sehingga dengan menggunakan tiga cara tersebut masyarakat kelurahan Penanae jarang menyelesaikan sengketa pembagian ke PA.
Dari segi pengetahuan tentang keberaadaan hukum islam dalam pembagian harta warisan diperoleh data 23% responden mengatakan tidak dan 77% responden mengatakan Ya. Artinya bahwa, masyarakat kelurahan Penanae sebagian besarnya sadar dan tahu agama mereka sudah mengatur tentang pembagian harta warisan. Disamping itu, ada hal yang akan menjadi pekerjaan bagi para dai dan ulama bahwa ternyata masih ada warga di keluarahan Penanae yaitu sekitar 23% yang tidak tahu islam telah mengatur cara-cara pembagian harta warisan sebagaimana tertuang dalam dalam Al Quran dan Hadits Nabi. Dan dakwah tersebut mestinya diarahkan pada hal-hal praktis pelaksanaan hokum islam secara natural.
Ketika berbicara masalah dampak negatif dari tiga cara pembagian harta warisan, menurut masyarakat Penanae hukum islam memiliki dampak negatif yang sedang dengan 23% responden yang mengatakan Ya. Sedangkan yang memilih dampak negatif terendah yaitu hukum adat dengan 22% responden yang mengatakan Ya. Dan yang tertinggi adalah dengan cara sendiri dengan 25% responden yang mengatakan Ya. Hal ini menandakan bahwa hukum adat menurut masyarakat penanae dari segi dampak negatifnya dalam membagi harta warisan masih merupakan pilihan yang terbaik. Baru posisi kedua di peroleh hukum islam dan ketiga diperoleh hukum adat. Kendati bedanya hanya 1% dan 3% namun ini asumsi seperti ini sangat memprihatinkan bagi keberlangsungan hukum islam di kelurahan Penanae. 
Pembahasan berikutnya adalah yang berkaitan dengan waktu pembagian warisan ketika pewaris meninggal dunia apakah harta waris langsung dibagi atau tidak. Data yang diperoleh menunjukan bahwa masyarakat Penanae dengan suara mayoritas mengatakan langsung dibagi (64%). Permasalahan ini berkaitan langsung dengan pertanyaan selanjutnya pada point Kesembilan yang berkaitan dengan lama menunggu pembagian harta waris. 53% mengatakan kurang dari 1 tahun, 28% mengatakan 2 Tahun dan 19% mengatakan lebih dari 3 tahun. Hal ini menunjukan bahwa yang dimaksud langsung itu berkisar antar 0-1 tahun, walaupun perbedaan antara yang langsung membagi dengan yang kurang dari 1 tahun sebanyak 11%. Dengan hasil ini dapat juga disimpulkan bahwa pembagian harta warisan yang lama masa menunggunya yaitu yang berada di atas 2 tahun kecendrungan terjadinya konflik itu sangat tinggi baik pembagian menggunakan hukum adat, hukum islam lebih-lebih yang didasarkan pada kemauan pembagi sendiri.
Kasus pembagian waris yang terjadi dikelurahan Penanae terjadi antara keluarga-keluaraga inti, seperti orang tua, saudara, anak dan saumi/istri. Konflik yang terjadi antara anak dengan orang tua sebanyak 22% yaitu orang tua laki-laki ketika Ibunya meninggal dunia atau orang tua perempuan ketika ayahnya meninggal dunia. Sementara 15% konflik pembagian harta warisan terjadi antara orang tua dengan anak. Konflik tertinggi dalam pembagian harta warisan terjadi antara saudara dengan saudara yang berkisar 66% dari sampel penelitian. Ini berarti bahwa kebanyakan konflik yang dalam pembagian harta warisan dikelurahan Penanae terjadi antara saudara hal ini terjadi karena lamanya masa menunggu dalam proses pembagian harta warisan.
Permasalahan terakhir yang diangkat dalam angket penelitian ini adalah yang berkaitan dengan keadilan dalam memberikan nafkah terhadap anak baik itu berupa pendidikan/ kebutuhan/kendaraan/ rumah dll. Dari pertanyaan ini diperleh hasil bahwa 96% masyarakat kelurahan Penanae mengatakan sudah adil dalam hal tersebut, sementara 4% mengatakan belum berlaku adil. Pertanyaan ini peneliti ajukan karena peneliti berasumsi bahwa salah satu pemicu terjadinya konflik dalam pembagian harta warisan adalah ketidakadilan orang tua dalam memberikan jaminan kepada anak-anaknya. Ada yang disekolahkan sampai sarjana menghabiskan kekayaan namun pulang-pulang jadi pengangguran sehingga pada pembagian harta warisan, mereka yang disekolah tinggi-tinggi meminta hak yang sama dengan yang tidak disekolahkan sampai sarjana. Tapi nampaknya, hal ini bukan menjadi hal utama terjadinya konflik pembagian harta di Kelurahan Penanae walaupun potensi tersebut ada tetapi sangat rendah yaitu 4%.

E.  PENUTUP
1.      Kesimpulan
Merujuk pada hasil olahan data dan pembahasan yang telah dijelaskan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat di Kelurahan Penanae melalui 3 macam cara yaitu hukum adat, hukum islam dan dengan cara / kemauan sendiri. Dari ketiga macam cara tersebut potensi untuk terjadinya konflik selalu ada. Hal ini berarti bahwa konflik yang terjadi dalam pembagian harta warisan bukan sepenuhnya terjadi karena menggunakan sistem pembagian tertentu tetapi lebih pada penguluran waktu yang terlalu dalam pembagian harta warisan. Hal ini terbukti dengan ditemukannya fakta bahwa 47% responden mengatakan bahwa pembagian harta warisan dilakukan 2 tahun keatas. Disamping itu, kecendrungan terjadinya konflik dalam pembagian harta warisan banyak terjadi antara saudara dengan akumulasi 61% dari responden.

2.      Saran-saran
Adapun saran-saran yang dapat kami ajukan melalui hasil penelitian ini adalah; Pertama, masih banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa islam telah mengatur pembagian harta warisan sebagaimana yang termuat dalam al Quran, hadits Nabi dan apa yang dilakukan oleh para sahabat Nabi. Untuk itu, agar tercipta pemahaman yang utuh terkait islam khususnya hukum mawaris diperlukan adanya upaya yang serius dari para ahli hukum islam, baik melalui dakwah maupun seminar yang dilakukan oleh dosen maupun Da`i di Muhammadiyah dalam rangka memberikan pemahaman terkait hukum mawaris. Kedua, perlunya sosialisasi kepada masyarakat kelurahan Penanae khususnya terkait peran Pengadilan yang tidak hanya mengurus masalah perceraian tetapi juga masalah pembagian harta warisan dan atau harta gono gini.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Utsaimin, S. (2007). Ilmu Waris: Metode Praktis Menghitung Warisan Dalam Syariat Islam, As-Shaf Media, Jakarta.
At-Tuwaijiri, (2012). Ensiklopedi Islam Al Kamil, Cetakan limabelas, Darus Sunnah, Jakarta Timur.
Karani, P. (2010). Tinjauan Ahli Waris Pengganti Dalam Hukum Kewarisan Islam Dan Hukum Kewarisan  Kuh Perdata, Tesis yang tidak diterbitkan.
Kurnia, Putri Sari (2012). Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini (Studi Kasus pada Komunitas Madura di Boto Putih, Surabaya) Hal.41-54   AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2012. (didownload pada tanggal 19 Maret 2016)
Manan, A. (1993), Teori dan Praktek Ekonomi Islam, PT. Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta.

Total Tayangan Laman

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *