Senin, 10 Maret 2014

Apa itu Binatang yang Disebut Hermeneutika

Sebermula, Seri 729 ini direncanakan masih lanjutan jihad intelektual yang saya emban (execute) melawan serangan-serangan para orientalis terhadap Al-Quran, yaitu jihad lanjutan melawan serangan seorang orientalis yang lain lagi yang bernama samaran Luxenberg. Namun karena banyaknya deringan telepon yang saya terima yang menanyakan, yang salah seorang di antaranya memakai ungkapan: Apa itu "binatang" yang disebut hermeneutika," maka jihad melawan Luxenberg ini insya-Allah nanti dalam Seri 730 yang akan datang.

Hermeneutika lagi bertrend terutama buat yang berpaham liberal. Istilah hermeneutika berkaitan dengan mitos dewa Hermes yang memiliki kebiasaan "memintal" (spin), yang dalam realitasnya menurut Sayyid Hussain Nasr adalah Nabi Idris AS, karena konon dewa Hermes dalam mitologi Yunani tersebut menyampaikan pula warta para dewa kepada manusia, bahkan bukan hanya sekadar menyampaikan, namun juga memberikan tambahan berupa ulasan. Mitos ini mengungkap dua hal, pertama: memastikan maksud, isi suatu kata, kalimat, teks, kedua: menemukan instruksi-instruksi dibalik simbol.

Secara harfiah, kata ini pernah digunakan oleh Aristoteles (384-322) SM, dalam karyanya: Peri Hermeneias, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan De Interpretatione; dan baru kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan On the Interpretation. Sebelumnya, al-Fârabi (870?-950) M, telah menterjemahkannya ke dalam bahasa Arab: Fi al-'Ibârah, dan memberi komentar karya Aristoteles tersebut. Hermeneias yang dikemukakan Aristoteles, hanya untuk membahas fungsi ungkapan dalam memahami pemikiran, serta pembahasan tentang satuan-satuan bahasa, seperti kata benda, kata kerja, kalimat, ungkapan, dan lain-lain yang berkaitan dengan tata-bahasa. Ketika membicarakan hermeneias, Aristoteles tidak mempersoalkan teks, ataupun mengkritik teks. Yang menjadi topik pembahasan Aristoteles adalah interpretasi itu sendiri, tanpa mempersoalkan teks yang diinterpretasikan.

Binatang hermeneutika ini ibarat ulat bermetamorphosis menjadi kupu-kupu, dimulai sejak para theolog Yahudi dan Kristen berusaha mengembangkan metode dan aturan yang dapat memandu penafsiran dan mengevaluasi kembali teks-teks dalam Bible yang sudah hilang teks aslinya yang dalam bahasa Hebrew Kuno (Al-'Ibriyyah Al-Qadimah) untuk Perjanjian Lama dan bahasa Aram (Al-'Ibriyyah Al-Jadidah) untuk Injil(*). Kemudian selama tahun-tahun pertama abad ke sembilan belas, metode itu ibarat kupu-kupu malam(**) terbang melebar menjadi hermeneutika umum oleh filosof dan theolog Protestan, Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Perkembangan hermeneutika sangat berkaitan dengan filologi, alegori yang juga sebagai sistem penafsiran terhadap teks.

Demikianlah hermeneutika itu bermetamorphosis lebih lanjut dari konteks theologi ke dalam konteks filsafat yang telah dibidani oleh Friedrich Schleiermacher tersebut. Maka tatkala hermeneutika itu ibarat kupu-kupu malam telah terbang melebar bermetamorphosis ke filsafat, menjamurlah serba-neka aliran yang menciutkan posisi hermeneutikanya Schleiermacher menjadi hanya sebagai salah satu aliran hermeneutika yang ada. Selain hermeneutikanya Schleiermacher, ada hermeneutikanya Emilio Betti (1890-1968), seorang sarjana hukum Romawi berbangsa Itali; ada hermeneutikanya Eric D. Hirsch (1928- ?) seorang kritikus sastra berbangsa Amerika; ada hermeneutikanya Hans-Georg Gadamer (1900- ?) seorang filosof dan ahli bahasa, dan lain-lain aliran-aliran, dsb.

Arkian, perkembangan hermeneutika mencapai puncaknya yang ekstrem keliwat batas, yaitu menerobos masuk wilayah epistemologis. yaitu penafsiran terhadap teks yang dibangun berdasarkan teori epistema (dari bhs Yunani Kuno episteme), yang menyangkut tentang parameter pengetahuan berupa:
-- asal-usul,
-- anggapan,
-- karakter,
-- cakupan,
-- kecermatan,
-- keabsahan.

Hermeneutika epistemologis yang ekstrem ini digunakan oleh pengecer Mohammad Arkoun dalam Rethinking Islam, (Kayfa na'qilu l-Islama, Bagaimana kita mengakali Islam). Saya dapat menimba dalam debat saya vs Ulil Absar Abdalla di cyber space, yang panglimanya komunitas yang menamakan diri Islam Liberal, bahwa komunitas ini memakai hermeneutika epistemologis, yaitu menurut mereka ayat-ayat Makkiyah bermuatan nilai universal, namun ayat-ayat Madaniyah diciutkan posisinya oleh parameter cakupan menjadi hanya bermuatan local, dan inilah yang menjadi paradigma yang dipakai oleh meraka dalam pendekatan kontekstual. Seperti contohnya khimar (telekung) panjang menutupi dada, itu bermuatan lokal, hanya wajib untuk daerah Arab yang berpadang-pasir dan berdebu, yang secara kontekstual tidak cocok bagi negeri seperti Indonesia ini. Karena hermeneutika epistemologis cakupan muatan lokal tersebut, mereka tidak lagi mengenal ayat-ayat Qath'i. Ayat tentang wajibnya khimar panjang yang qath'i sudah menjadi relatif.

-- WLYDHRBN BKHMRHN 'ALY JYWBHN (S. ALNWR, 24:31), dibaca:
-- walyadhribna bikhumurihinna 'ala- juyu-bihinna (s. annu-r).
WLYDHRBN - walyadhribna dalam ayat (24:31) terdapat Lam Al Amr (Lam yang menyatakan perintah), maka kata tersebut berarti: Diperintahkan kepada mereka menutupkan, sehingga ayat (24:31) terjemahannya adalah:
-- Diperintahkan kepada mereka menutupkan khumur mereka ke atas dada mereka. (Khumur adalah bentuk jama' = plural dari khimar, artinya tutup kepala, yang di Indonesia ini tutup kepala yang dipanjangkan menutup dada itu disebut "jilbab", padahal dalam bahasa Al-Quran: jalabib, bentuk jama' dari jilbab adalah baju longgar yang panjang sampai mata-kaki yang menutupi lekuk-lekuk tubuh).

Hermeneutika epistemologis dengan parameter anggapan memperanakkan paradigma tritunggal: sekularisme - liberalisme - pluralisme, yang di atas paradigma ini, komunitas yang menamakan diri Islam Liberal ini mengadakan pendekatan kontekstual bahkan mengkritisi ayat-ayat Al-Quran. Seperti disebutkan di atas itu, tidak ada lagi ayat Qath'i, ayat-ayat itu dijadikannya relatif. Jadi terjadi pergeseran nilai, yaitu ayat-ayat Al-Quran direlatifkan, sedangkan paradigma berupa parameter epistemologis yang ukuran akal itu, dijadikannya mutlak. Wahyu menjadi relatif, akal dimutlakkan. Penggunaan hermeneutika terhadap Al-Quran sudah merusak aqidah, karena akal sudah mengungguli wahyu. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 28 Mei 2006 [H.Muh.Nur Abdurrahman]

Sabtu, 08 Maret 2014

Jaringan Islam Liberal; Sekularis Berkedok Muslim


Islam liberal adalah nama sebuah gerakan dan aliran pemikiran yang bermula dari sebuah ajang kongkow-kongkow di Jalan Utan Kayu 69H, Jakarta Timur. Tempat ini sejak 1996 menjadi ajang pertemuan para seniman sastra, teater, musik, film, dan seni rupa. Di tempat itu pula Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang salah satu motor utamanya Ulil Abshar Abdalla berkantor. Bersama Goenawan Mohammad (mantan pemimpin redaksi Tempo) serta sejumlah pemikir muda seperti Ahmad Sahal, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib dan Saiful Mujani, Ulil kerap Menggelar diskusi bertema ‘pembaruan’ pemikiran Islam.

Setelah berdiskusi sekian lama pada akhir 1999 Ulil dan kawan-kawan sepakat memperkenalkan serta mengkampanyekan pemikiran mereka dengan bendera Islam Liberal. Lalu untuk mengintensifkan kampanyenya mereka membentuk wadah Jaringan Islam Liberal (JIL) pada Maret 2001.

Dengan ditunjang kucuran dana dari Asia Foundation kampanye Islam liberal gencar dilancarkan melalui berbagai cara. Mulai dari forum kajian dan diskusi, media cetak hingga media elektronik. Media internet juga tak ketinggalan mereka garap. Mula-mula dengan membuat forum diskusi internet (mailing list) kemudian dilanjutkan dengan membuat situs web, alamatnya www.islamlib.com.

Kampanye lewat media cetak dilakukan sangat gencar. Selain melalui majalah seperti Tempo dan Gatra, JIL mendapat porsi publikasi besar di koran Jawa Pos dan 40 koran daerah yang tergabung dalam Jawa Pos-Net. Dengan nama rubrik Kajian Utan Kayu, setiap hari Ahad JIL mendapat jatah satu halaman penuh untuk diisi tulisan para pengusung ide Islam liberal, antara lain Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Jalaluddin Rakhmat dan Masdar F Mas’udi.

Kampanye melalui media elektronik mula-mula cuma disuarakan melalui kantor berita radio 68H yang mengudarakan dialog interaktif setiap Kamis sore. Belakangan siaran itu kemudian di-relay oleh tak kurang 15 stasiun radio se-Indonesia yang tergabung dalam jaringan 68H, sehingga dapat disimak oleh para pendengar dari Aceh hingga Manado. Di Jakarta siaran JIL di-relay oleh stasiun radio dangdut Muara FM.

Adapun istilah Islam liberal dipilih oleh kalangan JIL untuk menamakan gerakan dan pemikiran mereka, nampaknya lantaran mereka mendapat insipirasi dari buku Liberal Islam: A Sourcebook karya Chares Kurzman (edisi bahasa Indonesia berjudul Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, diterbitkan oleh Paramadina), sebab dari buku itu pula JIL meminjam enam agenda rumusan Charles Kurzman. Enam isu itu: antiteokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-Muslim, kebebasan berpikir dan gagasan tentang kemajuan.

Anti Islam Kaffah

Mengapa JIL begitu gencar menyebarluaskan pemikirannya? Seperti diakui oleh para pentolannya, meski nama Islam liberal baru dikenal belakangan ini, sebenarnya Islam liberal bukanlah suatu pemikiran baru. Di Indonesia pemikiran Islam liberal telah dirintis oleh antara lain Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Munawir Sjadzali dan Abdurrahman Wahid. Mereka adalah orang-orang yang sejak tahun 1970-an dan 1980-an menggelindingkan ide ‘pembaruan Islam’, berupa Islam rasional, dekonstruksi syariah dan sekulerisasi. Namun, kata Ulil Abshar kepada Gatra, para perintis itu gagal memasyarakatkan gagasan Islam liberal ke masyarakat.


Kegagalan itu antara lain karena tidak adanya pengorganisasian secara sistematis. Atau, menurut Luthfi Assyaukanie, gerakan Islam liberal sebelum ini terlalu elitis. Gagasan itu lebih banyak dibawa kalangan akademisi dan peneliti yang tak mengakar ke masyarakat, sehingga opini publik tetap dikuasai oleh kalangan Islam ‘konservatif’ yang memiliki jaringan kuat dan mengakar ke masyarakat. Karena itu, kalangan JIL merasa perlu memiliki jaringan kuat agar pemikiran liberal bisa berkompetisi dengan pemikiran kaum revivalis. Dengan kata lain, Islam liberal adalah tandingan Islam revivalis.


Apa beda Islam liberal dan Islam revivalis? Charles Kurzman mendefinisikan, Islam revivalis berusaha mengembalikan kemurnian Islam seperti di zaman Rasulullah, tetapi tidak ramah dengan kehadiran modernitas. Sedangkan Islam liberal, masih kata Kurzman, menghadirkan masa lalu Islam untuk kepentingan modernitas. “Ia menghargai rasionalitas,” kata Kurzman. Sebuah pengkategorian yang sangat layak diperdebatkan. Tapi lepas dari perdebatan itu, menurut kalangan JIL, dalam konteks Indonesia, kaum revivalis adalah mereka yang mendukung penegakan syariat Islam oleh negara dan menolak sekulerisme. Sebaliknya, kaum Islam liberal adalah mereka yang mendukung sekulerisme dan menentang penegakan syariat Islam oleh negara.

Pemikiran revivalis, katakanlah begitu, tercermin dalam FPI (Front Pembela Islam), atau Laskar Jihad yang lebih kuat, atau jaringan PK (Partai Keadilan) yang lebih mengakar,” kata Ulil menyebut lawan tandingnya.

Untuk menandingi kalangan revivalis, kini JIL telah menyusun sejumlah agenda, antara lain: kampanye sekulerisasi seraya menolak konsep Islam kaffah (total) dan menolak penegakan syariat Islam, menjauhkan konsep jihad dari makna perang, penerbitan Al-Quran edisi kritis, mengkampanyekan feminisme dan kesetaraan gender serta Pluralisme. “Menurut saya, beragama secara kaffah itu tidak sehat dilihat dari pelbagai segi? Agama yang ‘kaffah’ hanya tepat untuk masyarakat sederhana yang belum mengalami ’sofistikasi’ kehidupan seperti zaman modern? Beragama yang sehat adalah beragama yang tidak kaffah,” ungkap Ulil dalam rubrik Kajian Utan Kayu Jawa Pos.

Tapi tentu saja kalangan yang disebut revivalis juga tak akan tinggal diam. Mereka juga telah menyusun agendanya sendiri, meski mungkin tanpa gembar-gembor kampanye seperti yang dilakukan kalangan JIL. Yang penting bekerja saja. Tinggal dilihat nanti siapa yang lebih ditolong Allah: mereka yang berjuang menegakkan syariat Allah atau mereka yang alergi kepada syariat-Nya.?

Filsafat Pendidikan


Idealisme

Para murid yang menikmati pendidikan di masa aliran idealisme sedang gencar-gencarnya diajarkan, memperoleh pendidikan dengan mendapatkan pendekatan secara khusus. Sebab, pendekatan dipandang sebagai cara yang sangat penting. Giovanni Gentile pernah mengemukakan, “Para guru tidak boleh berhenti hanya di tengah pengkelasan murid, atau tidak mengawasi satu persatu muridnya atau tingkah lakunya. Seorang guru mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari anak didik, sehingga kalau perlu ia berkumpul hidup bersama para anak didik. Guru jangan hanya membaca beberapa kali spontanitas anak yang muncul atau sekadar ledakan kecil yang tidak banyak bermakna.


Bagi aliran idealisme, anak didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini dapat dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual.


Sejak idealisme sebagai paham filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola pendidikan yang diajarkan fisafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham idealisme terbagai atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan campuran antara keduanya.


Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia. Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.


Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi sebagai: (1) guru adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik; (2) guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa; (3) Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik; (4) Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid; (5) Guru menjadi teman dari para muridnya; (6) Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar; (7) Guru harus bisa menjadi idola para siswa; (8) Guru harus rajib beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya; (9) Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif; (10) Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya; (11) Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar; (12) Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil; (13) Guru haruslah bersikap dmokratis dan mengembangkan demokrasi; (14) Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.


Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi sebagai:
Guru adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik;


Guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa;


Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik;


Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid;


Guru menjadi teman dari para muridnya;


Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar;


Guru harus bisa menjadi idola para siswa;


Guru harus rajib beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya;


Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif;


Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya;
Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar;


Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil;


Guru haruslah bersikap dmokratis dan mengembangkan demokrasi;


Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.






Realism


Aliran filsafat realisme berpendirian bahwa pengetahuan manusia itu adalah gambaran yang baik dan tepat dari kebenaran. Konsep filsafat menurut aliran realisme adalah: (1) Metafisika-realisme; Kenyataan yang sebenarnya hanyalah kenyataan fisik (materialisme); kenyataan material dan imaterial (dualisme), dan kenyataan yang terbentuk dari berbagai kenyataan (pluralisme); (2) Humanologi-realisme; Hakekat manusia terletak pada apa yang dapat dikerjakan. Jiwa merupakan sebuah organisme kompleks yang mempunyai kemampuan berpikir; (3) Epistemologi-realisme; Kenyataan hadir dengan sendirinya tidak tergantung pada pengetahuan dan gagasan manusia, dan kenyataan dapat diketahui oleh pikiran. Pengetahuan dapat diperoleh melalui penginderaan. Kebenaran pengetahuan dapat dibuktikan dengan memeriksa kesesuaiannya dengan fakta; (4) Aksiologi-realisme; Tingkah laku manusia diatur oleh hukum-hukum alam yang diperoleh melalui ilmu, dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh kebiasaan-kebiasaan atau adat-istiadat yang telah teruji dalam kehidupan.


Dalam hubungannya dengan pendidikan, pendidikan harus universal, seragam, dimulai sejak pendidikan yang paling rendah, dan merupakan suatu kewajiban. Pada tingkat pendidikan yang paling rendah, anak akan menerima jenis pendidikan yang sama. Pembawaan dan sifat manusia sama pada semua orang. Oleh karena itulah, metode, isi, dan proses pendidikan harus seragam. Namun, manusia tetap berbeda dalam derajatnya, di mana ia dapat mencapainya. Oleh karena itu, pada tingkatan pendidikan yang paling tinggi tidak boleh hanya ada satu jenis pendidikan, melainkan harus beraneka ragam jenis pendidikan. Inisiatif dalam pendidikan terletak pada pendidik bukan pada peserta didik. Materi atau bahan pelajaran yang baik adalah bahan pelajaran yang memberi kepuasan pada minat dan kebutuhan pada peserta didik. Namun, yang paling penting bagi pendidik adalah bagaimana memilih bahan pelajaran yang benar, bukan memberikan kepuasan terhadap minat dan kebutuhan pada peserta didik. Memberi kepuasan terhadap minat dan kebutuhan siswa hanyalah merupakan alat dalam mencapai tujuan pendidikan, atau merupakan strategi mengajar yang bermanfaat.


Menurut Power (1982), implikasi filsafat pendidikan realisme adalah sebagai berikut: (1) Tujuan: penyesuaian hidup dan tanggung jawab sosial; (2) Kurikulum: komprehensif mencakup semua pengetahuan yang berguna berisi pentahuan umum dan pengetahuan praktis; (3) Metode: Belajar tergantung pada pengalaman baik langsung atau tidak langsung. Metodenya harus logis dan psikologis. Metode pontiditioning (Stimulua-Respon) adalah metode pokok yang digunakan; (4) Peran peserta didik adalah menguasai pengetahuan yang handal dapat dipercaya. Dalam hal disiplin, peraturan yang baik adalah esensial dalam belajar. Disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang baik; (5) Peranan pendidik adalah menguasai pengetahuan, terampil dalam teknik mengajar dan dengan keras menuntut prestasi peserta didik.


Existensialisme


Pandangan Eksistensialisme dan Penerapannya di bidang pendidikan


1) Pendidikan adalah yang membantu seorang individu untuk mewujudkan yang terbaik yang dia mampu. Dengan demikian pendidikan harus membantu individu untuk mewujudkan faktisitas ~ (kontingensi) keberadaannya untuk menghadapi kategori faktisitas ini - ketakutan, kesedihan, kecemasan dan ketakutan - tegas dan berani dan akhirnya mempersiapkan dirinya untuk menemui kematian dengan senang hati.


2) Pendidikan untuk kebahagiaan adalah doktrin berbahaya karena tidak ada kebahagiaan tanpa rasa sakit dan ekstasi tidak tanpa penderitaan. Oleh karena itu, Eksistensialis akan menyambut pendidikan, yang melempar terbuka untuk anak-anak menderita, manusia kesengsaraan, penderitaan dan tanggung jawab mengerikan kehidupan dewasa.


3) Siswa harus mengembangkan skala konsisten nilai-nilai, mengotentikasi keberadaan mereka dengan menjadi berkomitmen untuk nilai-nilai dan bertindak sebagai harus siap mati untuk nilai-nilai daripada hidup tanpa mereka. Dyning untuk negara sendiri itu merupakan pengorbanan tertinggi.


4) Setiap individu adalah unik. Pendidikan harus mengembangkan dalam dirinya keunikan ini. Ini harus memenuhi perbedaan individual.


5) Pendidikan harus membuat murid menyadari kemungkinan tak terbatas kebebasan dan tanggung jawab ia harus menanggung dalam hidup.


6) Tujuan yang paling penting dalam pendidikan adalah menjadi seseorang manusia sebagai salah satu yang hidup dan membuat keputusan tentang apa yang dia akan melakukan dan menjadi. Mengetahui? dalam arti mengetahui diri sendiri, hubungan sosial, dan pengembangan biologi, semua adalah bagian dari menjadi. Eksistensi manusia dan nilai yang berkaitan dengannya adalah pabrik utama dalam pendidikan.


7) Pendidikan untuk pengembangan kepribadian lengkap.


8) Lebih pentingnya pengetahuan subjektif dari pengetahuan obyektif.


9) Pendidikan untuk kesempurnaan manusia dalam lingkungannya.


10) Pendidikan harus menciptakan kesadaran untuk diri sendiri.


11) Pendidikan harus melatih manusia untuk membuat pilihan yang lebih baik dan juga memberikan orang ide bahwa karena pilihan-Nya tidak pernah sempurna, konsekuensi tidak dapat diprediksi.


12) Tujuan utama pendidikan adalah untuk membuat manusia sadar akan tujuan, untuk memberikan pemahaman tentang keberadaannya dan akhirnya membawanya ke tempat tinggal surgawi. Jadi, jelas bahwa eksistensialisme menerima prinsip pendidikan liberal.


PEMBELAJARAN GURU MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


Pertama guru masuk ke kelas dengan mengucapkan salam. Tidak beberapa kemudian, guru membimbing siswanya untuk berdoa dengan dipimpin oleh ketua kelas. Setelah berdoa guru memberikan pertanyaan appersepsi kepada siswa terkait dengan materi pelajaran yang telah dipelajari minggu yang lalu.
Memasuki materi inti dari mata pelajaran yang membahas tentang Iman, guru memberikan penjelasan tentang pengertian iman, dan macam-macam iman. Setelah membahas pengertian iman tersebut guru memberikan  contoh tentang orang-orang yang kurang imannya. Dia menjelaskan bahwa ketika seseorang melakukan maksiat, berjudi, korupsi dan tindakan yang dilarang secara syari oleh agama maka orang tersebut dapat dikatakan kurang beriman, atau bahkan bisa dikatakan tidak ada imannya.
Ketika membahas tentang macam-macam iman dia menyebutkan ada enam. Iman kepada Allah, malaikat, kitab, nabi/rasul, hari kiamat, dan qadha dan qadar. Iman kepada Allah menurutnya adalah meyakini akan keberadaan Allah walaupun tidak dilihat. Hal ini dibuktikan dengan adanya hasil ciptaan baik berupa tumbuhan, hewan dan manusia serta alam semesta. Begitupun iman kepada malaikat_Nya, kita meyakini bahwa malaikat diciptakan oleh Allah dari cahaya dengan tugas-tugas yang sudah diberikan. Dan harus diyakini juga bahwa malaikat tidak laki-laki dan bukan pula perempan serta tidak akan pernah berbuat dosa dan maksiat.
Beriman kepada Kitab Allah berarti beriman kepada Nabinya. Artinya meyakini bahwa Allah mengutus seseorang manusia pilihan untuk menyampaikan Risalah/ petunjuk yang biasanya berupa kitab. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa beriman kepada hari kiamat adalah meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa dunia dan alam semesta berikut isinya pada suatu saat nanti akan mengalami kehancuran, tetapi proses kehancuran ini tidak diberitahu oleh Allah bahkan kepada para Nabinya akan tetapi para nabi diberi tahu akan tanda-tandanya saja.
Setelah memberi penjelasan tentang materi tersebut, guru memberikan pertanyaan kepada siswa untuk evaluasi sementara. Sebelum mengakhiri pembelajaran guru memberikan PR kepada murid.
Menurut analisa pengamat, cara mengajar guru diatas masuk dalam filsafat idealisme dan juga masuk dalam filsafat perenalisme. Masuk dalam filsafat pendidikan idealisme karena dalam filsafat idealisme Guru dalam sistem pengajaran berfungsi sebagai: 1) guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa; (2) Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik; (3) Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid; (4) Guru menjadi teman dari para muridnya; (5) Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar; (6) Guru harus bisa menjadi idola para siswa; (7) Guru harus rajib beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya; (8) Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif; (9) Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya; (10) Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar; (11) Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil; (12) Guru haruslah bersikap dmokratis dan mengembangkan demokrasi; (13) Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.
Dalam pandangan Pendidikan filsafat idealisme juga menyatakan bahwa tujuan dari pendidikan adalah agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik.
Pengajaran guru tersebut masuk dalam filsafat pendidikan beraliran perenialisme karena menurut pengamatan saya ketika guru memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpang siuran. Dalam filsafat Perenealisme melihat bahwa akibat atau ujung dari zaman sekarang ini telah menimbulkan banyak krisis diberbagai bidang kehidupan manusia, untuk mengobati zaman yang sedang sakit, maka aliran ini memberikan konsep Regressive Road To Cultural yakni kembali atau mundur kepada masa lampau yang masih ideal. Adapun jalan yang ditempuh adalah dengan cara regresif, yakni kembali kepada prinsip umum yang ideal yang dijadikan dasar tingkah pada zaman kuno dan abad pertengahan, Prinsip umum yang ideal ini berhubungan dengan nilai ilmu pengatahuan, realita, moral yang mempunyai peran penting dan pemegang kunci bagi keberhasilan pembangunan kebudayaan.
Dengan demikian ketika seorang guru mengajak siswa kepada hal-hal yang bersifat spriritual untuk menghayati jati dirinya sebagai hasil ciptaan Allah dan menyadari konsekuensi dari seorang ABDI/Hamba maka cara mengajar guru yang demikian masuk dalam filsafat idealisme. Dan juga masuk dalam aliran filsafat pendidikan perenialisme.
Pada pengamatan kedua ini seperti biasa guru masuk dengan membawa salam. Kemudian anak-anak disuruh  berdoa yang dipimpin oleh ketua kelas. Setelah itu menanyakan kembali tentang materi yang telah dibahas pada pertemuan yang lalu.
Pertemuan kali masih membahas tentang macam-iman yaitu tentang rukun iman yang terakhir yaitu iman kepada Qadha dan Qadhar. Dijelaskan oleh guru bahwa Qadha dan Qadhar adalah ketentuan dan ketetapan Allah. Ketentuan dan ketetapan Allah yang dinamakan dengan takdir. Takdir itu sendiri ada yang baik dan ada juga yang baik dan ada juga yang buruk.
Qadhar atau ketentuan Allah menurutnya adalah bersifat dinamis dalam artian bisa berubah. Perubahan ketentuan ini bisa terjadi karena adanya doa dan ikhtiar yang diilakukan oleh manusia. Jodoh, kematian, rezeki termasuk dalam ketentuan Allah yang bisa berubah.
Sementara qadhar adalah ketetapan yang tidak bisa berubah. Seperti halnya bumi yang berputar, matahari yang muncul dari arah timur kemudian tenggelam kebarat, api itu panas dan lain-lain.
Menurutnya beriman kepada Qadha dan Qadhar ini menjadi pondasi bagi kita untuk menyerahkan segala sesuatu yang diluar kemampuan kita setelah berusaha dengan sungguh-sungguh dan kita berserah hanya kepada Allah sebagai zat yang Maha Kuasa.
Sesekali guru memberikan pertanyaan kepada siswa untuk mengetes respon siswa terhadap materi. Dan atas pertanyaan tersebut murid menjawab sesuai dengan pertanyaan. Untuk akhiri pembelajaran 
Dari hasil pengamatan kedua terhadap cara pengajaran yang dilakukan oleh guru tersebut penulis berkesimpulan bahwa cara mengajarnya tersebut masuk dalam aliran filsafat Existensialisme. Hal ini didasarkan pada beberapa hal berikut:
1)    Pendidikan adalah yang membantu seorang individu untuk mewujudkan yang terbaik yang dia mampu. Dengan demikian pendidikan harus membantu individu untuk mewujudkan faktisitas ~ (kontingensi) keberadaannya untuk menghadapi kategori faktisitas ini - ketakutan, kesedihan, kecemasan dan ketakutan - tegas dan berani dan akhirnya mempersiapkan dirinya untuk menemui kematian dengan senang hati. Dari ciri ini sudah tampak jelas bahwa guru tersebut ketika mengatakan bahwa apabila kita sudah beriman kepada Qadha dan Qadar maka kita tidak perlu takut lagi untuk tidak mendapatka rezeki dari Allah karena sudah merupakan ketentuan dan ketetapan Allah (Qadha dan Qadar).
2)   Siswa harus mengembangkan skala konsisten nilai-nilai, mengotentikasi keberadaan mereka dengan menjadi berkomitmen untuk nilai-nilai dan bertindak sebagai harus siap mati untuk nilai-nilai daripada hidup tanpa mereka. Hal ini menandakan bahwa ketika nilai tentang Qadha dan Qadar ditanamkan oleh guru tersebut maka secara tidak langsung keyakinan yang tertanam menjadi nilai yan hidup untuk siswa terapkan dalam kehidupannya.
3)   Tujuan yang paling penting dalam pendidikan adalah menjadi seseorang manusia sebagai salah satu yang hidup dan membuat keputusan tentang apa yang dia akan melakukan dan menjadi. Mengetahui? dalam arti mengetahui diri sendiri, hubungan sosial, dan pengembangan biologi, semua adalah bagian dari menjadi. Eksistensi manusia dan nilai yang berkaitan dengannya adalah pabrik utama dalam pendidikan.
4)   Pendidikan untuk pengembangan kepribadian lengkap. Kriteria ini juga termuat dalam pmebelajaran guru tersebut, karena dalam proses pendidikannya pengembangan kepribadian lebih diutamakan daripada penguasaan terhadap materi yang diajarkan. Pendidikan harus menciptakan kesadaran untuk diri sendiri juga masuk kriteria dari pengajaran guru tersebut.
5)   Pendidikan harus melatih manusia untuk membuat pilihan yang lebih baik dan juga memberikan orang ide bahwa karena pilihan-Nya tidak pernah sempurna, konsekuensi tidak dapat diprediksi.
6)   Tujuan utama pendidikan adalah untuk membuat manusia sadar akan tujuan, untuk memberikan pemahaman tentang keberadaannya dan akhirnya membawanya ke tempat tinggal surgawi.
Pada pengamatan yang ketiga ini guru membahas tentang rukun islam. Setelah salam, doa, dan melakukan appersepsi (menanyakan materi pertemuan yang lalu) guru memperkenalkan materi baru yaitu rukun islam.
Rukun islam katanya memulai pembelajaran, adalah sesuatu yang menandakan atau menjadi ciri bahwa seseorang tersebut dikatakan islam. Ada 5 rukun islam yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, berpuasa dibulan ramadhan, menunaikan zakat, melaksanakan haji bagi yang mampu.
Syarat pertama seseorang dikatakan muslim adalah syahadat yaitu pengakuan akan Allah sebagai sesembahan dan pengakuan akan kenabian Muhammad SAW. Apabila seseorang mengingkari salah satu dari dua itu maka tidak dikatakan telah bersyahadat.
Kedua Mendirikan shalat adalah melaksanakan shalat secara kontinu, berkelanjutan. Shalat menjadi pembeda antara muslim dan nonmuslim. Shalat menjadi penentu baik tidaknya perbuatan seseorang. Hal ini didasarkan pada ayat al Quran yang berunyi ”aqimishshalah inna shalata tanha anil fakhsya`iwal munkar” artinya dirikanlah shalat secara istiqomah, sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Seseorang misalnya sudah melaksanakan shalat tapi masih berbuat yang dilarang maka itu berarti shalatnya belum benar-benar shalat, masih gerakan zahirnya saja tapi hatinya tidak shalat.
Ketiga, berpuasa dibulan ramadhan artinya setiap datang bulan kita sebagai muslim sejati melaksanakan puasa untuk menjadi muslim yang taqwa. Taqwa dalam artian melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Berpuasa itu tidak ada yang tahu kecuali dia dengan Allah makanya Allah menurut hadits akan memberikan sendiri pahala terhadap orang-orang yang berpuasa.
Keempat adalah zakat. Zakat berarti mengeluarkan sebagaian harta yang kita miliki untuk dinikmati oleh orang-orang yang tidak punya. Zakat dalam islam dibagi menjadi dua yaitu zakat fitrah dan zakat mall. Zakat fitrah berarti zakat untuk tiap-tiap jiwa dan dikeluarkan sebesar 2.5 kg beras atau berupa uang sehaarga beras tersebut. Sedangkan zakat Mall adalah zakat untuk membersihkan harta. Baik itu berupa emas, perak, pertanian, dan peternakan. Zakat ini dikeluarkan satu tahun sekali apabila sudah mencapai nisab, batas minimal jumlah harta untuk dikeluarkan zakat.
Terakhir adalah naik haji bagi yang mampu yaitu berkunjung atau berhaji ketempat-ketempat suci ummat islam untuk melaksanakan ibadah berdasarkan petunjuk dari Rasulullah yaitu mekkah dan madinah. Rukun islam yang ini tidak boleh dipaksanakan, misalnya dengan mengutang di Bank untuk bisa pergi haji karena melihat tetangga sudah pergi haji. Hal seperti ini tidak diperbolehkan dalam islam. Karena ibadah haji merupakan ibadaha alternatif (bisa ya bisa tidak) maka tidak boleh melaksanakan haji kalau akhirnya sepulang haji kita susah untuk memikirkan bayar utang.
Dari penjelasan tentang berbagai konsep tentang rukun islam, guru memberikan stresing tentang keadaan umat islam sekarang yang jauh dari nilai-nilai keislaman apalagi terkait dengan rukun islam. Beliau menjelaskan betapa banyaknya orang yang kaya sekarang ini namun tidak mau mengelaurkan zakat, tidak mau shalat tidak mau berpuasa mereka hanya melaksanakan haji karena haji dianggap sebagai sarana untuk bertamasya/piknik bukan untuk ibadah. Hal ini sangat berbeda dengan ketika islam pada awal-awal kelahirannya. Di mana masyarakat islam sangat semangat menjalankan ajaran islam. Ketika turun ayat terkait dengan zakat maka para sahabat dengan berbondong mengeluarkan zakat. Ketika turun ayat terkait dengan aurat maka para wanita pun langsung menutupi aurat mereka dengan kain apa saja yang mereka lihat.
Setelah menjelaskan berbagai hal terkait dengan rukun islam dan stresing materi guru menyuruh para siswanya untuk bertanya hal-hal tidak mereka pahami. Setelah metode tanya jawab ini berlangsung, guru memberikan penekanan kepada siswa tenntang pentingnya rukun iman dan rukun islam dalam kehidupan seorang muslim.
Kemudian terakhir guru memberikan tugas kepada siswa untuk mengamati perbuatan orang-orang yang shalat dalam lingkungan masyarakat. Untuk kemudian didiskusikan dalam kelas.
Dalam pengamatan yang ketiga ini, sepertinya ada kesamaan cara mengajarnya dengan cara mengajar guru pada pertemuan yang pertama. Di mana berdasarkan hasil dari uraian pengamatan diatas, nampaknya terjadi perpaduan dua aliran filsafat yang guru gunakan dalam proses pembelajaran. Terkadang masuk dalam aliran filsafat idealisme dan terkadang juga masuk dalam aliran filsafat perenialisme.
Guru menggunakan pendekatan filsafat pendidikan beraliran idealisme ketika Hal ini didasarkan pada pemberian kesadaran oleh guru bahwa ketika seseorang mengeluarkan zakat sebagai alat untuk mengangkat tingkat ekonomi masyarakat yang miskin maka hal ini masuk dalam idealisme karena dalam idealisme disamping mengedepankan akhlak dan perbuatan seorang guru juga berorientasi pada mengasah kepekaan sosial murid dengan memberikan motifasi agar siswa yang kaya mau memberikan harta yang mereka miliki untuk masyakarat miskin.
Pendekatan filsafat Perennialisme nampak ketika guru memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpang siuran. Hal ini sejalan dengan pemahaman guru tersebut. Dan ketika aliran Perennealis melihat bahwa akibat dari zaman sekarang ini telah menimbulkan banyak krisis diberbagai bidang kehidupan manusia, untuk mengobati zaman yang sedang sakit, maka aliran ini memberikan konsep regressive road to cultural yakni kembali atau mundur kepada masa lampau yang masih ideal. Dengan memberikan perbandingan tentang moralitas atau akhlak orang muslim jaman sekarang dengan masa pada awal islam maka guru ini menggunakan pendekatan perenialisme.

Total Tayangan Laman

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *