Rabu, 05 Februari 2014

PEGADAIAN SYARIAH VERSUS PEGADAIAN KONVENSIONAL: SEBUAH ANALISIS PERBANDINGAN



ASBTRAK

Perum pegadaian sebagai perusahaan miliki negara yang bergerak dibidang gadai, telah melahirkan berbagai terobosan dalam rangka menjawab dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk menjawab kebutuhan tersebut perum pegadaian menetaskan anak perusahan baru yang bernama pegadaian syariah sebagai alternatif bagi umat islam yang ingin membebaskan diri dari praktik riba dan bunga yang ada pada pegadaian umum/konvensional. Namun dibalik keinginan tersebut, berdasarkan kajian ini ternyata masih jauh praktik gadai yang dituntun berdasarkan syariat seperti pembatasan akad gadai yang hanya dilakukan selama empat bulan. Disamping itu, ketentuan Rahn (gadai syariah) oleh pegadaian syariah telah melabrak fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang mengatakan bahwa “besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman”. Sementara praktik pegadaian syariah pada hari ini besar biaya administrasi dan biaya ijaroh tergantung pada besar kecilnya pinjaman.

Kata Kunci: Pegadaian syariah, Rahn, Ijaroh, dewan syariah

A.    PENDAHULUAN
Adanya berbagai macam kebutuhan yang mendesak di zaman modern ini, mendorong orang yang tidak memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk menggadaikan harta benda yang mereka dimiliki. Hal ini dilakukan apabila dalam kehidupan baik berumah tangga maupun sosial terdesak oleh kepentingan yang tidak bisa ditunda. Maka alternatif terakhir yang lakukan adalah menggadaikan harta benda  tersebut kepada perum pegadaian untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Pegadaian adalah suatu lembaga perkreditan tertua bercorak khusus, berdiri sejak zaman penjajahan Belanda dan telah dikenal masyarakat sejak lama, khususnya masyarakat golongan berpenghasilan menengah dan bawah. Pegadaian mempunyai tugas memberikan pelayanan jasa kredit berupa pinjaman uang dengan jaminan barang bergerak.
Dalam perkembangannya, perum pegadaian merupakan merupakan alternatif terbaik bagi masyarakat yang rata-rata memiliki tingkat ekonomi yang lemah untuk di mintai kredit dengan barang jaminan tertentu. Seperti halnya emas, tv, motor dan lain sebagainya. Bersamaan dengan itu pula, karena terdorong oleh semangat kebergamaan khususnya di Indonesia berkembanglah apa yang dinamakan dengan pegadaian syariah.
Pegadaian syariah lahir karena adanya tuntutan dari beberapa komponen masyarakat islam yang tidak menghendaki proses pemberian yang berbau riba. Sehingga untuk menjawab itu semua oleh pemerintah dibentuklah pegadaian syariah yang dalam pengamatan penulis hampir sama dengan proses lahirnya pegadaian syariah di Indonesia.
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat juga dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP 10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP 103/2000  yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003  tentang Bunga Pegadaian, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.178 tanggal 3 Mei 1961 Jawatan Pegadaian diubah menjadi Perusahaan Negara (PN) Pegadaian, sebagai badan usaha milik negara (BUMN) di bawah naungan Departemen Keuangan. Dengan terbitnya Inpres No.17 tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1969, PN Pegadaian beralih statusnya menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian.
Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990 dan PP No.103 tahun 2000 tanggal 10 Nopember 2000 ini pula, Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian dengan usahanya adalah penyediaan pelayanan bagi kemanfaatan umum sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan dan bertujuan untuk; Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai dan jasa di bidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktek riba dan pinjaman tidak wajar lainnya.
Berangkat dari penjelasan pada latar belakang inilah peneliti ingin meneliti dan membandingkan bagaimana sebenarnya pegadaian syariah dan pegadaian konvensional? Dan Dimanakah titik perbedaan dan persamaanya?

B.     LANDASAN TEORI
Pegadaian Syariah
Kata gadai dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman (KBBI Offline, 2011). Menurut Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri Gadai yaitu memperkuat hutang dengan benda yang bisa membayarnya darinya, atau dari harganya, jika tidak bisa membayar dari jaminan peminjam (At-Tuwaijri, 2009).
Pegadaian adalah suatu lembaga perkreditan tertua bercorak khusus, berdiri sejak zaman penjajahan Belanda dan telah dikenal masyarakat sejak lama, khususnya masyarakat golongan berpenghasilan menengah dan bawah. Pegadaian mempunyai tugas memberikan pelayanan jasa kredit berupa pinjaman uang dengan jaminan barang bergerak.
Kegiatan menjaminkan barang-barang untuk memperoleh sejumlah uang dan dapat ditebus kembali setelah jangka waktu tertentu tersebut disebut dengan nama usaha gadai. Dengan usaha gadai masyarakat tidak perlu takut kehilangan barang-barang berharganya dan jumlah uang yang diinginkan dapat disesuaikan dengan harga barang yang dijaminkan. Perusahaan yang menjalankan usaha gadai disebut perusahaan pegadaian dan secara resmi satu-satunya usaha gadai di Indonesia hanya dilakukan oleh Perusahaan Pegadaian.
Secara umum pengertian usaha gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan pihak pegadaian (Sasli Rais, 2006).
Di dalam kredit, pihak kreditor tentu tidak mau memberikan kredit kepada debitor tanpa adanya suatu jaminan. Biasanya jaminan dalam kredit yang diberikan kepada kreditor adalah yang berwujud benda, dimana pihak kreditor memberikan piutang dengan sejumlah uang, sedangkan pihak debitor dalam memperoleh kredit tersebut memberikan suatu jaminan (benda) kepada kreditor untuk menguasai benda sebagai jaminan hutang yang dimaksud. Jarminan yang disebut diatas dinamakan gadai (Suyatno dkk, 1993). 
Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian marak di Indonesia, tidak terkecuali pegadaian. Perum pegadaian mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut dengan pegadaian syariah. Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau bagi hasil. Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhumbih (UP) mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan metode Fee Based Income (FBI) (Kashadi, 2000).
Sebagai penerima gadai atau disebut Mutahim, penggadai akan mendapatkan Surat Bukti Rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang disebut Akad Gadai Syariah dan Akad Sewa Tempat (Ijarah). Dalam akad gadai syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin guna melunasi pinjaman. Sedangkan Akad Sewa Tempat (ijarah) merupakan kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai untuk menyewa tempat untuk penyimpanan dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP/10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP 103/2000  yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003  tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat  beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Dan setelah melalui kajian panjang akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah  sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah (Edy Putra The’Aman, 1989).
Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri  di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah (Edy Putra The’Aman, 1989)
Pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu (Ghafar dan Abd. Ghani, 2006):
§  Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
§  Akad Ijarah. Yaitu  akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.
Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut: Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya (emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.

Pegadaian Konvensional
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, pemerintah mendirikan Lembaga Keuangan Bank (LBK) dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB). Salah satu Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) adalah Perum Pegadaian. Pada awalnya Lembaga Pegadaian adalah Perusahaan Jawatan, namun melalui peraturan pemerintah Nomor 10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990 bentuknya berubah menjadi Perusahaan Umum.
Apabila dilihat dari fungsi dan jenis kegiatanya pegadaian merupakan salah satu Lembaga Keuangan Bukan Bank yang fokus kegiatanya adalah pembiayaan. Perum pegadaian dapat memberikan pinjaman kepada masyarakat luas dengan tujuan  ikut membantu program pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan khususnya golongan ekonomi menengah kebawah, melalui kegiatan utamanya yaitu memberikan penyaluran kredit kepada masyarakat.
Pegadaian adalah suatu badan atau organisasi yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa peminjaman uang dengan menggadaikan suatu barang sebagai jaminannya.  Menurut Sarli Rais Secara umum pengertian gadai adalah : “Kegiatan menjaminkan ‘barang-barang’ berharga kepada pihak-pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang, dimana barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai (Sarli, 2005).
Kegiatan menjaminkan barang-barang untuk memperoleh sejumlah uang dan dapat ditebus kembali setelah jangka waktu tertentu tersebut disebut dengan nama usaha gadai. Dengan usaha gadai masyarakat tidak perlu takut kehilangan barang-barang berharganya dan jumlah uang yang diinginkan dapat disesuaikan dengan harga barang yang dijaminkan. Perusahaan yang menjalankan usaha gadai disebut perusahaan pegadaian dan secara resmi satu-satunya usaha gadai di Indonesia hanya dilakukan oleh Perusahaan Pegadaian.
Menurut  Decker (1963)  yang dikutip Suharto beberapa  prinsip  yang  dianut  perum pegadaian  sebagai  lembaga  perkreditan  rakyat  (istilah  yang  dipakai  sejak jaman kolonial) adalah sebagai berikut (dalam Sijabat, 2010) :
a.       Memberikan pelayanan yang mudah dan  cepat untuk  rakyat yang  tidak berpendidikan  atau  berpendidikan  rendah.  Pada  saat  sebelum Kemerdekaan ditiap pegadaian disiapkan juru gadai. Juru gadai bertugas membantu  nasabah  untuk mendapatkan  pinjaman, mulai  dari  pengisian formulir,  sampai  dengan  menghitung  uang  yang  dipinjam  dari  loket. Selain  itu menjadi  petugas  tetap  yang mendampingi  kliennya  dan  jika perlu  akan  datang  dari  rumah  ke  rumah  untuk mengingatkan  nasabah atas pinjamannya;
b.      Menetapkan tingkat bunga berdasarkan kemampuan nasabah. Untuk itu, pegadaian  setiap  saat  akan  mengevaluasi  kemampuan  nasabah  untuk membayar  pinjamannya.  Sekiranya  nasabah  dinilai  mampu  membayar pada  tingkat  bunga  tertentu  maka  tingkat  bunga  tersebut  akan dipertahankan atau bahkan mungkin ditingkatkan;
c.       Menetapkan  batas  pinjaman  maksimal  berdasarkan  taksiran  nilai  jual maksimal  agunan  pada  waktu  batas  akhir  pembayaran.  Jadi  besar pinjaman bervariasi berdasarkan jangka waktu pinjaman. Semakin  lama waktu pinjaman maka nilai maksimal pinjaman semakin kecil. Misalnya untuk  satu  tahun  adalah  60%  dari  nilai  agunan,  sedangkan  untuk  tiga bulan biasanya mencapai 80% dari nilai agunan;
d.      Tidak membatasi tujuan penggunaan pinjaman atau nasabah bebas/boleh menggunakan pinjaman untuk tujuan apa saja;
e.       Pembangunan  dan  erasionalisasi  pegadaian  dikoordinasikan  dengan pemerintah  daerah,  dan  memperhatikan  saran-saran  dari  pemerintah daerah. 

C.    METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. penelitian kualitatif ingin mendapatkan pemahaman yang mendalam. Untuk itu harus mencari nomenon atau makna di balik fenomena. Atau dapat dikatakan penelitian kualitatif ingin mendapatkan makna di balik fenomena, untuk itu perlu mendapatkan pemahaman yang mendalam dari suatu fenomena (Heru Basuki, 2006: 27). Dalam pengertian yang lain penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian untuk memahami masalah-masalah manusia atau sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan dengan kata-kata, melaporkan pandangan terinci yang diperoleh dari para sumber informasi, serta dilakukan dalam latar (setting) yang alamiah (Heru Basuki, 2006: 48).
Sedangkan jenis penelitiannya adalah penelitian deskriptif di mana dalam penelitian ini peneliti berupaya untuk proses pemecahan masalah yang sedang diselidiki dengan melukiskan keadaan subyek dan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau bagaimana adanya (Sugiyono, 2011).
Penelitian dilaksanakan di Kota Bima dengan mengambil subyek penelitian pada pegadaian syariah dan pegadaian konvensional. Analisis data difokuskan pada surat bukti kredit dan data-data yang lain yang dapat mendukung proses analisis agar lebih tajam dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

D.    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa penyusunan penelitian  ini diarahkan pada dua isu utama. Pertama tentang konsep kredit. Kedua penggunaan. Maka untuk kepentingan analisis terkait dua hal diatas, penyusun memusatkan analisisnya pada Surat Bukti Kredit selanjutnya disebut SBK masing-masing pegadaian.  Disamping itu analisis pembanding dilakukan dengan buku-buku dan konsep-konsep lain yang sesuai dengan topik yang dibahas.
Pembahasan terkait dengan konsep kredit merupakan pembahasan yang sangat esensial dalam penelitian ini. Di awali dari sebuah keyakinan bahwa ada perbedaan dan persamaan dari segi konsep antara pegadaian  syariah dan pegadaian konsvensional. Berangkat dari hal tersebut, analisa perbandingan ini berupaya mengungkap hal-hal yang selama berada di area abu-abu antara kedua pegadaian tersebut.
Berdasarkan pada surat Surat Bukti Kredit (SBK), masing-masing pegadaian telah menguraikan panjang lebar seputar hal dan konsep terkait kreditnya masing-masing. Dalam konsep pegadaian konvensional termuat perjanjian kredit antara nasabah dengan penggadai dengan 10 item perjanjian. Sedangkan perjanjian menurut pegadaian konvensional sebanyak 7 item. Ketentuan pinjaman oleh pegadaian konvensional termuat dalam 5 item sedangkan pegadaian syariah memuat 4 item ketentuan pinjaman.
Konsep kredit pegadaian syariah pada hakikatnya didasarkan pada ketentuan syariat islam terkait dengan masalah gadai (Rahn). Berbagai ketentuan yang mengatur tentang gadai (Rahn) dalam syariat misalnya dalam surat Al Baqarah ayat 283 ” Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)...”. Dan hadits Riwayat Muslim dari Aisyah yang mengatakan bahwa rasululah pernah membeli makanan dari seorang yahudi dengan memberikan baju besi sebagai jaminannya. Sementara pegadaian konvensional lahir atas prakarsa pemerintah dengan dikeluarkannya PP No. 10 tanggal 1 April 1990 yang kemudian direvisi pada PP No. 103 Tahun 2000 tentang Perum Pegadaian. Kendati dengan landasan konseptual yang berbeda namun dari segi asas yuridis sama yaitu peraturan pemerintah.
Akad ijarah merupakan konsep pemberian kredit yang utama dalam sistem pegadaian syariah.  Perkataan  al-ijarah sendiri berasal dari kata al-ajr yang berarti balasan atau ganjaran ke atas sesuatu pekerjaan (Sabri dan Mumin, 2006: 2). Dengan demikian ijarah yang dikehendaki pegadaian syariah adalah biaya sewa dan perawatan terhadap barang yang digadai.
Ketentuan perhitungan ijarah oleh pegadaian syariah berdasarkan pada siklus persepuluh hari. Misalnya uang Taksiran terhadap barang sebesar Rp. 10.000.000  Pinjaman Rp. 1.000.000,  Maka Biaya Administrasi Gadai dan Gadai Ulangnya adalah Rp 30.000,-. Sedangkan Ijarahnya sebesar : 1% X Rp 10.000.000,- = Rp 100.000,- / 120 hari.
            Pegadaian konvensional menggunakan teknik perhitungan dengan siklus per lima belas hari dengan ketentuan bunga antara 1,200% sampai dengan 9,600%. Dengan suku bunga tetap selama lebih dari 20 tahun yaitu sebesar 3,5% / bulan (Saudin Sijabat, 2010). Dengan durasi perpanjangan gadai 120 hari (4 bulan). Misalnya uang pinjaman sebesar Rp. 1.000.000. Maka, biaya sewa modal yang harus dikeluarkan oleh penggadai dengan perhitungan 1.000.000/11,6% menjadi Rp. 116.000/ 4 bulan. Dengan biaya administrasi dibagi dua yaitu gadai baru dengan biaya sebesar 1%. Dan gadai ulang sebesar 0,8% / 4 bulan. Sehingga biaya administrasinya sebesar Rp. 8.000.
Dari hasil perbandingan ini, diperoleh bahwa biaya yang harus dikeluarkan oleh rahin pada transaksi gadai syariah lebih mahal dibandingkan dengan transaksi yang dikeluarkan pada pegadaian konvensional. Hal ini berarti, identitas syariah yang digunakan oleh pegadaian syariah sama sekali tidak berdampak pada biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang penggadai.
Hal menarik yang patut dicermati sebagaimana yang diutarakan oleh Abdul Manan dalam bukunya ekonomi islam adalah jangan sampai praktik ekonomi islam memakai nama dalam bentuk syariah dengan esensi riba yang sama. Hal ini akan sangat mencoreng citra syariah sebagai ajaran yang berasal dari Allah.
Persoalan pegadaian syariah dan pegadaian konvensional yang memiliki banyak kesamaan tidak memberikan arti penting dalam menjawab persoalan syariah seputar masalah gadai. Secara essensial antara pegadaian syariah dan pegadaian konvensional tidaklah berbeda justru kalau dikaji dari segi kemaslahatan pegadaian syariah lebih banyak membebani penggadai daripada pegadaian konvensional. Yang menjadi pertanyaan besar peneliti adalah motif dikeluarkannya peraturan yang terkait dengan  pegadaian syariah itu seperti apa. Kalau misalnya kata syariah hanya untuk menarik pelanggan yang mayoritas muslim jelas ini sudah menyalahi ketentuan syariat islam yang diturunkan oleh Allah. Dan mencaplok nama syariah pada pada bidang bisnis jelas merupakan pelanggaran yang tidak bermoral.
Dari segi penggunaan istilah tertutama istilah ijarah yang digunakan oleh pegadaian syariah untuk memungut biaya penyimpanan barang jaminan penggadai sebenarnya memiliki essensi yang sama dengan bunga yang dipergunakan oleh pegadaian konvensional terhadap uang pinjaman. Dengan menggunakan siklus empat bulanan terhadap tarif ijaroh akan sulit kita membedakan dengan pegadaian konvensional. Sehingga yang terjadi adalah bukan perbedaan dari segi essensi tetapi hanya dalam penggunaan istilah.
Kendati istilah yang digunakan ini berbeda yakni satu menggunakan kata ijaroh yang berbasis syariat islam sedangkan yang lain menggunakan bunga yang jelas-jelas dilarang oleh syariat islam, tetapi itu tidak mengurangi nilai beban yang diberikan oleh masing-masing pegadaian. Seandainya pegadaian syariah yang memakai istilah ijaroh untuk pungutannya tidak membatasi waktu dengan empat bulanan, maka ini yang paling sesuai dengan konsep pegadaian syariah. Hal ini didasarkan pada hadits ketika rasulullah menggadaikan baju besinya untuk ditukarkan dengan  makanan, dalam akad tersebut tidak dijelaskan kapan dan berapa bulan batas waktu yang ditentukan untuk penebusan kembali.
Disamping itu, ketentuan Rahn (gadai syariah) berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 mengatakan bahwa terdapat lima point yang fundamental praktek gadai yang sesuai dengan syariat islam salah satunya adalah “besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman”. Sementara praktik pegadaian syariah pada hari ini besar biaya administrasi dan biaya ijaroh tergantung pada besar kecilnya pinjaman yang diambil atas hasil analisis prediktor terhadap barang gadai. Sehingga yang terjadi bukan praktik gadai syariah tetapi praktik gadai dengan sistem bunga/riba yang mengalami perubahan sampul dari usaha gadai konvensional.
Dengan demikian diakhir pembahasan ini peneliti ingin menegaskan bahwa tidak terdapat ketentuan syar’i yang mengatakan bahwa ijaroh yang dikenakan terhadap penggadai dengan waktu yang ditentukan. Sehingga bagaimanapun baiknya pegadaian syariah apabila beban biaya sama dengan pegadaian konvensional maka unsur syariah pegadaian sebagai alat untuk membantu masyarakat tidak dapat terpenuhi, apalagi kedua pegadaian tersebut sama-sama menggunakan siklus peminjaman yang empat bulanan.

E.     PENUTUP
 Dari pembahasan dan hasil analisa diatas, dapatlah disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Ditinjau dari beban biaya yang harus dikeluarkan oleh penggadai, pegadaian syariah membebankan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan pegadaian konvensional. Sehingga, semangat syariat yang menghendaki kemaslahatan umat tidak tercapai dengan baik melalui pegadaian yang bertitel syariah.
2.      Pembatasan beban ijaroh oleh pegadaian syariah dengan menggunakan siklus empat bulanan, jelas menyalahi praktik gadai yang dilakukan oleh Rasulullah. Karena dalam praktek gadai Rasulullah tidak membatasinya dan hal ini tergantung kemampuan penggadai bisa lebih cepat atau lebih lambat dari empat bulan.
3.      Masing-masing pegadaian memiliki kekurangan dan kelemahan. Pegadaian konvensional dianggap melakukan praktek fidusia, sedangkan pegadaian syariah tidak betul-betul melaksanakan prinsip syariah dalam pengelolaan pegadaian, seperti perhitungan sewa modal dan administrasi yang tidak transparan dan berdasarkan modal pinjaman.




F.     DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Muhammad, 1993. Ekonomi Islam Teori dan Praktek, Jokjakarta, PT. Dana Bhakti Waqaf.
Kashadi, 2000,  Gadai dan Penanggungan,  Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.
Mgs. Edy Putra The’Aman, 1989.  Kredit Perpegadaianan Suatu Tinjauan Yuridis. Liberty, Yogyakarta.
Patrik, Purwahid dan Kashadi. 2004.  Hukum Jaminan (Edisi Revisi Dengan UUHT), Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
R. Subekti, 1989. Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia.  PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sabri Abdul Ghafar,  Mohd dan Mumin Ab Ghani, Abdul, 2006. Manfaat Al-Ijarah Menurut Perspektif Fiqh Empat Mazhab, Jurnal Fiqh: No. 3.
Sarli, Rais. 2005. Pegadaian Syariah Konsep dan Sistem Operasional. Jakarta :  Universitas Indonesia.
Saudin Sijabat, 2010. Pegadaian Versus Bank Umum (Menilai Profil yang Potensial untuk Menjadi  Lembaga Perkreditan Rakyat), Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UMKM.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri, 2009. Ringkasan Fiqh Islam, Terjemah :  Team Indonesia islamhouse.com.
Suyatno, Thomas (dkk), 1993.  Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Total Tayangan Laman

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *