Kamis, 23 Mei 2013

Pendidikan Agama Masa Depan

Semakin cepat arus informasi komunikasi dan telekomunikasi, maka semakin cepat pula tingkat perkembangan kemanusiaan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya intensitas manusia mengkonsumsi hal tersebut melalui Hand phone dan televisi. Inipun tidak terlepas dari kapasitas manusia yang memiliki rasa ingin tahu dan memiliki kebebasan. Tetapi, hal ini sangat riskan bagi sisi kemanusiaan manusia yang hanya mengedepankan rasio yang tidak dibarengi dengan iman. Alat-alat informasi yang semakin canggih bukannya dijadikan manusia sebagai alat untuk memenuhi kebutuhannya namun justru dijadikan sebagai tujuan. Untuk memiliki blackberry misalnya mahasiwi atau siswa rela menjual diri agar tidak tertinggal dengan temannya yang mempunyai blackberry. Pejabat negara dengan kekuasaan dan kewenangan yang ada padanya melakukan berbagai bentuk korupsi hanya untuk menambah jumlah saldo bank, mobil dan rumah mewah. Semuanya memang dianggap sebagai sesuatu hal yang lumrah dari sudut pandang nafsu, tetapi dari sudut pandang kemanusiaan dan keagamaan hal ini tergolong perbuatan yang keji. Dunia pendidikan baik yang sifatnya keagamaan maupun pendidikan umum tidak dapat berbuat banyak untuk membendung tingkahlaku manusia yang jauh dari petunjuk keagamaan. Ini berarti bahwa bukan saja kurikulum yang dijadikan kambing hitam bagi kegagalan dunia pendidikan kita namun semua hal yang terkait dengan bidang pendidikan kayaknya memiliki masalah yang serius untuk dibenahi. Sepertinya halnya lingkaran setan, dunia pendidikan kita sejak tahun 90-an tampaknya berada pada titik kulminasi yang buruk. Tingkat kompetensi pengajar yang kurang memadai ditambah lagi siswa yang susah diatur dan kepedulian orangtua yang kurang terhadap pembentukan akhlak anaknya. Kesemua masalah tersebut saling terkait dan diibaratkan benang kusut yang sangat sulit untuk mencari pangkal dan ujungnya. Pendidikan masa depan bukan sembarang pendidikan diperlukan pengkajian yang mendalam untuk dapat menyinergikan semua stakeholder pendidikan. Pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada penguasaan materi dan hafalan tetapi harus diarahkan pada pembententukan akhlak dan kepribadian yang tangguh dalam menghadapi kehidupan masa depan yang serba tidak terkendali. Pendidikan ini harus diarahkan pada aspek sosial kontekstual di mana mereka akan melangsungkan tongkat estafet kehidupan yang diinginkan sesuai dengan petunjuk al Quran dan Assunnah. Diarahkan untuk siswa mampu membendung segala bentuk nafsu baik berupa seksualitas bebas, konsumerisme, hedonisme dan berbagai bentuk isme-isme yang lain yang akan menempatkan manusia dibawah derajat hewaniah. Ada dua benteng terakhir yang perlu dibenahi agar pendidikan keagamaan kita berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Pertama, Maksimalisasi peran orang tua dalam pembentukan kepribadian anak sejak dini. Dan kedua, bekali guru umum dan agama dengan pengetahuan keagamaan yang baik. Orang tua sebagai orang yang bertanggung jawab penuh terhadap anak-anaknya mestinya memiliki pengetahuan yang memadai untuk membentuk kepribadian anak yang shaleh. Dan ini merupakan harapan setiap orangtua. Namun, dalam berbagai prakteknya orang tua sebenarnya sama sekali tidak peduli dengan kepribadiannya. Mereka dibiarkan besar menurut lingkungannya tanpa bimbingan yang memadai. Ibarat tanam padi kalau tidak diairi, dipupuk dan dikasi obat anti hama maka tidak akan tumbuh sesuai dengan harapan. Begitu pun juga dengan anak-anak tanpa bimbingan, kasih sayang, perhatian dan cinta serta pembatasan pergaulan tentu akan seperti padi tanpa air, pupuk dan pestisida. Hal yang justru terjadi, orang tua lebih memperhatikan padinya dari mulai tabur benih sampai panen, bahkan rela seharian penuh menunggu air mengairi seluruh petak sawah daripada menunggu dan membujuk anaknya untuk belajar dan memahami ilmu agama. sesuatu yang primer diabaikan untuk memenuhi kebutuhan primer yang lain, yang semestinya ini bisa ditempatkan secara bersamaan. Guru yang tidak memiliki pemahaman keagamaan yang bagus tidak mau belajar untuk membaguskan pemahaman kegamaannya. Pergi mengajar hanya untuk mengejar materi pelajaran, tanpa memperhatikan apakah materi tersebut sudah dicerna oleh siswa atau belum. Sekiranya dua hal ini bisa dibenahi maka kita bertawakal kepada Allah semoga apa yang kita usahakan hasilnya sesuai dengan yang kita harapkan.

Total Tayangan Laman

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *