Sabtu, 23 Februari 2013

Pendidikan Karakter: Upaya Baru Rekonstruksi Sosial di Indonesia

Upaya untuk mendesain ulang kurikulum agar dapat merekontruksi pendidikan di Indonesia tidak banyak memberikan hasil. Sejak zaman penjajahan baik oleh belanda maupun oleh jepang terjadi beberapa perubahan kurikulum sesuai dengan kepentingan dari penjajah. Sejak tahun 90 an sampai dengan hari ini telah terjadi tiga kali pergantian kurikulum. Walaupun beberapa ahli berpendapat bahwa KTSP sebenarnya memiliki semangat sebagaimana yang termuat pada kurikulum berbasis kompetensi (KBK).  

Merebaknya masalah dalam dunia pendidikan di Indonesia membuat kita berpikir bahwa pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia telah menemui jalan buntu. Betapa tidak, sejak satu dekade ini muncul berbagai masalah seperti halnya meningkatnya kasus korupsi, permasalahan ujian nasional, pelecehan terhadap siswa bahkan pelecehan terhadap guru oleh orang tua murid. Nilai sejati yang diusung dunia pendidikan nampaknya tidak memiliki ruh untuk merasuki pola pikir para siswa dan guru sehingga yang terjadi bukannya perbaikan moral bangsa tapi malah membawa moral bangsa menuju pada jurang kehancuran. 

Sejak awal tahun 2010 pemerintah telah menggagas model pendidikan baru dengan label pendidikan karakter. Dengan harapan bahwa dalam pendidikan karakter ini masyarakat pada umumnya atau siswa pada khususnya memiliki kesadaran bahwa pola hidup dan tata cara kita bergaul dalam kancah kehidupan ini sudah tidak memiliki karakter sebagai bangsa ketimuran yang menghargai etika dan bermoral agama. Istilah Pendidikan karakter itu sendiri sebenarnya bukan hal baru, semangat pendidikan karakter sudah termuat dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang termuat dalam fungsi pendidikan nasional. Pendidikan karakter terdiri dua kata pendidikan dan karakter. 

Pendidikan berarti usaha sadar orang dewasa untuk memanusiakan manusia. Sedangkan karakter disamakan dengan istilah etika, akhlak, dan kekuatan moral yang positif. Dalam kamus bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan dengan orang lain. Jadi, pendidikan karakter adalah upaya lembaga penyelenggara pendidikan untuk membentuk akhlak, nilai moral, dan etika peserta didik dengan harapan membentuk budaya bangsa yang berperadaban. Merujuk pada 18 nilai pendidikan karakter yang diusung dalam pedoman pendidikan karakter yang dikeluarkan oleh Depdiknas menjadi jelas bahwa fungsi pendidikan sebagai alat rekayasa sosial akan semakin nyata. Tetapi yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah kedelapan belas nilai tersebut dapat diterapkan dan diaplikasikan dengan mudah oleh unsur-unsur pendidikan (dalam hal ini adalah Guru dan siswa)? Guru sebagai Pembina karakter Guru sebagai Pembina karakter peserta didik diharapkan dapat berbuat lebih terhadap kebijakan pemerintah terkait dengan pemberlakuan pendidikan karakter. Maka, hal pertama dan utama yang dilakukan oleh seorang guru adalah memberikan ketaladanan yang terbaik yang bisa kita bedakan dengan orang lain. Ketaladan adalah kata kunci terakhir yang bisa diharapkan dari seorang guru. Oleh karena itu, untuk membentuk karakter peserta didik diharapkan guru membentuk karakter diri sendiri terlebih dahulu sebelum membentuk karakter peserta didik. Kata-kata itu menggerakkan, namun teladan lebih memikat hati yang dalam bahasa latinya yaitu verba movent exampla prahunt menjadi pepatah yang dijadikan rujukan dalam dunia pendidikan barat. 

Guru menjadi agen pembawa nilai bukan melalui kata-kata tetapi melalui keteladanan. Sehingga berdasarkan nilai-nilai pendidikan karakter hendaknya guru dapat diteladani dari sifat-sifat Religiusitas, kejujuran, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah Air, Menghargai Prestasi, Bersahabat/Komuniktif, Cinta Damai, Gemar Membaca, Peduli Lingkungan, Peduli Sosial, dan Tanggung-jawab. Dengan demikian apabila semua sifat-sifat ini bisa diteladani dari seorang guru maka kita sebagai orang tua tidak perlu khawatir lagi untuk menyekolahkan anak-anaknya. Tidak mesti lagi ada kesenjangan antara sekolah yang berorinetasi agama (pesantren dan Madrasah) dengan sekolah umum, karena semua guru baik yang berpendidikan agama maupun non agama telah sama-sama memahami nilai-nilai pendidikan karakter sebagai basis dalam berbuat dan berinteraksi, dalam mengajar dan mendidik. Pepatah latin lain mengatakan nemo dat quod non habet yang berarti tidak seorang pun memberikan dari apa yang tidak dimilikinya. Hal ini menandakan bahwa seorang guru tanpa memiliki nilai karakter yang dapat ditiru tidak mungkin dapat memberikan bimbingan yang berkesan bagi peserta didik. Seorang guru tidak akan bisa memberikan apa-apa kalau ilmu dan karakter dia tidak punya, begitupun sebaliknya seorang guru yang memiliki komitmen tinggi untuk belajar dan karakter yang terpuji sebagaiman yang termuat di atas, akan bisa ditularkan dengan leluasa kepada siswanya. Inilah arti dari live long education, belajar seumur hidup atau belajar dari buaian sampai liang lahat. Guru tanpa memiliki karakter ibarat mayat yang berjalan. Karakter adalah nilai fundamental yang harus dimiliki oleh seorang guru. 

Dalam sebuah kata bijak mengatakan seorang yang kehilangan harta tidak merasa ada yang hilang, seorang yang kehilangan kesehatannya merasa ada yang hilang darinya, tapi apabila seorang kehilangan karakternya maka hilang segalanya. Pembentukan Karakter Peserta Didik Upaya untuk membentuk karakter peserta didik tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Dibutuhkan kesabaran, ketelatenan, dan keikhlasan serta kesadaran dari seorang guru. Kesadaran guru bahwa membentuk karakter siswa lebih penting dibandingkan dengan pemahamannya terhadap materi yang disampaikan. Inilah sebenarnya hakikat dari pendidikan itu sendiri, yaitu pemberian semangat dan keteladanan untuk memahami hakikat kehidupan dan penciptaan dirinya oleh Allah agar bisa menjadikan dirinya berguna baik secara sosial maupun maupun secara agamis. Segala usaha pendidikan sebagai alat rekayasa sosial akan terhambat jika para guru tidak memahami hakikat ini. Maka, sebagai alat rekayasa social pendidikan tidak hanya diorientasikan pada penguasaan materi (walaupun itu penting) tetapi harus diutamakan adalah pembentukan karakter peserta didik agar memiliki tata cara kehidupan yang berkeadaban. Dalam falsafah pendidikan di Indonesia guru/sekolah bukan satu-satunya tempat untuk membentuk karakter seorang peserta didik. Namun, yang tidak kalah berperan adalah orang tua sebagai pemilik otoritas tertinggi terhadap siswa. Paradigma orang tua siswa yang mempercayakan penuh pendidikan anak-anaknya pada pihak sekolah harus segera diberikan kesadaran. Karena ini akan berdampak pada sikap meremehkan dari orang tua terhadap pembentukan karakter dan akhlak anaknya. Trilogy pendidikan (guru - orang tua - lingkungan) semestinya perlu mendapatkan perhatian. 

Orang tua sebagai pemegang otoritas tertinggi terhadap anaknya semestinya punya peran untuk menyukseskan tujuan mulia dari pendidikan karakter. Jangan semata-mata menyerahkan pendidikan dan keberlangsungan masa depan anaknya pada pihak sekolah. bagaimanapun juga dari 24 jam sehari hanya hanya 5-6 jam yang digunakan oleh oleh sekolah untuk mendidik dan mengajar dengan berbagai mata pelajaran yang berbeda dan guru yang berbeda pula. Sedangkan orang tua memiliki waktu 18-19 jam bagi anak-anaknya. Kalau saja peran ini dimaksimalkan oleh orangtua untuk membentuk karakter anaknya, tentu akan lebih efektif dibandingkan mempercayai sepenuhnya.

Menurut asumsi penulis lingkungan bukanlah sebab bagi berhasil tidaknya pendidikan. Lingkungan itu ada karena adanya interaksi antara beberapa orang yang terkumpul dari beberapa anggota keluarga. Jadi lingkungan adalah akibat sedangkan penyebabnya adalah keluarga. Lingkungan itu akan baik apabila dibangun dengan latar belakang keluarga yang baik-baik. Sesuatu yang bersifat “akibat” tidak bisa dijadikan dasar yang hakiki terhadap keberlangsungan pendidikan. Dengan demikian dua arus utama yang menjadi tolak ukur berhasil tidaknya pendidikan karakter di Indonesia adalah Orangtua dan guru. Dengan melaksanakan tupoksi masing-masing, insya Allah akan mampu melahirkan peserta didik / anak-anak bangsa yang memiliki nilai karakter seperti yang sudah di desain oleh pemerintah. Sebagai orang tua yang baik Wallahu a`lam bishawab.

Total Tayangan Laman

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *