Kamis, 24 Oktober 2013

KONTRIBUSI KEBIJAKAN PIMPINAN, KOMPETENSI DOSEN, DAN PELAYANAN KARYAWAN TERHADAP PENJAMINAN MUTU INTERNAL DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEPUASAN MAHASISW

ABSTRACT 

Assurance of internal quality can be measured seen with indicators head performance, lecturer interest and service of employees. Third of the indicator can difference minimizing between expectation with given service and storey level satisfaction of student to the third that indicator can be measured by comparing between student expectation to assurance of internal quality to which is wanted it with accepted fact. Responder at this research is taken by counted 72 student people in two college that is STIH Muhammadiyah and STAI Muhammadiyah of Bima pursuant to method of proportional sampling random stratified which is distribution by proporsional in each semester level. The result of study: (1) The head performance has a significant direct of satisfaction of students. (2) The lecturer interest has not has a significant direct of students’ satisfaction (3) The service of employees have a significant direct effect of students’ satisfaction. (4) The head performance, lecturer interest, service of employees and assurance of internal quality have simultan direct effect of to students’ satisfaction. (5) The same as with also between head performance, lecturer interest and service of employees to have simultan direct effect of to students’ satisfaction.

Keywords: Performance, Interest, Service, Internal Quality, Satisfaction  

Pendahuluan 

Banyaknya Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang tidak memiliki mutu yang sesuai dengan standar mutu pendidikan nasional, menyebabkan beberapa perguruan tinggi Muhammadiyah dalam pelaksanaan, pengelolaan maupun pengembangannya mengalami stagnasi. Hal ini menjadi kendala yang sangat sulit terutama dalam mengarungi pasar bebas dan globalisasi lebih-lebih pada persaingan antar perguruan tinggi yang semakin ketat. Adanya globalisasi dalam bidang pendidikan ini juga mengakibatkan adanya kecendrungan pengelolaan pendidikan yang mengikuti pola pengelolaan sebuah perusahaan. Sehingga, lahirlah teori baru dalam pengelolaan pendidikan yang disebut Total Quality Education yang diadopsi dari Total Quality Manajemen perusahaan. Total Quality Education adalah usaha suatu lembaga pendidikan untuk selalu melakukan perubahan terhadap mutu sekolah dengan mengedepankan kepuasan pelanggan atau mahasiswa sebagai indicator utama. Perubahan yang continue untuk menjawab tantangan dunia pendidikan yang semakin maju. Kepuasan mahasiswa adalah perasaan bahagia dan suka cita yang dirasakan mahasiswa karena penjaminan mutu internal lembaga dengan kebijakan pimpinan, kompetensi dosen dan pelayanan karyawan sebagai indikator utamanya. 

Kepuasan mahasiswa tidak terlepas dari kebijakan pimpinan, kompetensi dosen dan pelayanan karyawan yang diberikan lembaga Perguruan Tinggi Muhammadiyah Bima di NTB. Dengan demikian, penelitian bertujuan untuk mengetahui; 1) apakah kebijakan pimpinan, kompetensi dan pelayanan karyawan serta penjaminan mutu internal berkontribusi langsung terhadap kepuasan mahasiwa? 2) apakah kebijakan pimpinan, kompetensi dan pelayanan karyawan berkontribusi langsung terhadap penjaminan mutu internal? dan 3) apakah penjaminan mutu internal berkontribusi langsung terhadap kepuasan mahasiwa? Kepuasan adalah perihal (yang bersifat) puas; kesenangan; kelegaan. Sedangkan Mahasiswa didefinisikan sebagai orang yang belajar diperguruan tinggi (Setiawan, 2011). Kepuasan mahasiswa adalah sikap positif mahasiswa terhadap pelayanan lembaga pendidikan tinggi karena adanya kesesuaian antara harapan dari pelayanan dibandingkan dengan kenyataan yang diterimanya (Sopiatin, 2010:33). Menurut Sugito kepuasan mahasiswa adalah suatu keadaan terpenuhinya keinginan, harapan, dan kebutuhan mahasiswa (dalam Srinadi, 2008). Sementara Sarjono (2007) Kepuasan mahasiswa adalah perbandingan antara harapan yang diinginkan mahasiswa tentang pelayanan karyawan, kompetensi dosen yang didukung oleh sarana prasarana dan kepemimpinan dengan apa yang mahasiswa rasakan setelah mendapatkan pelayanan. Pengertian kepuasan adalah istilah evaluatif yang menggambarkan suka dan tidak suka (Simamora dalam Winarsih, 2007:22). Kepuasan pelanggan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap kebijakan (atau hasil) suatu produk dengan harapan-harapannya (Kotler dalam Winarsih, 2007:22). Menurut Dikti (2010, Hal: 8) sistem penjaminan mutu internal adalah kegiatan sistemik penjaminan mutu perguruan tinggi diperguruan tinggi oleh perguruan tinggi (internally driven), untuk mengawasi penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh perguruan tinggi secara berkelanjutan (continuous improvement). Petunjuk Jaminan Mutu yang internal mempunyai kaitan dengan kebijakan dan prosedur untuk jaminan berkwalitas, persetujuan, monitoring dan tinjauan ulang program secara berkala dan penghargaan, penilaian para siswa, jaminan staff pengajar yang berkwalitas, sumber daya belajar dan dukungan siswa, sistim informasi dan informasi publik (Silman, Gokcekus and Isman, 2012). 

Edward Sallis (2011: 70) mutu adalah sesuatu yang memuaskan dan melampui keinginan dan kebutuhan pelanggan. Definisi ini disebut juga dengan istilah, mutu sebagai sesuai persepsi (quality in perception). Mutu ini bisa disebut sebagai mutu yang hanya ada dimata orang yang melihatnya. Ini merupakan definisi yang sangat penting, sebab ada satu resiko yang yang seringkali kita abaikan dalam definisi ini, yaitu kenyataan bahwa para pelanggan yang membuat keputusan terhadap mutu. Dan mereka melakukan penilaian tersebut dengan merujuk pada produk terbaik yang bisa bertahan dalam persaingan. Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa pengertian mutu dalam dunia pendidikan belum ditemukan format yang jelas. Tetapi ada beberapa hal menjadi patokan bahwa institusi/ sekolah memiliki mutu manakala pelanggan puas terhadap pelayanan, baik secara administrasi maupun fasilitas yang diberikan. Kedua, output yang dihasilkan lewat proses belajar mengajar dalam suatu institusi pendidikan yang dapat diandalkan dan dapat bersaing dengan institusi pendidikan lain. Dan sekolah tersebut dapat dikatakan memiliki mutu yang layak secara nasional maupun internasional. Kata kebijakan dalam bahasa inggris dikenal dengan kata policy. Kebijakan, sinonim artinya dengan posisi atau pendirian; atau bagian dari kegiatan tertentu atau teguh terhadap suatu aturan. Namun, arti kebijakan bila digabungkan akan berarti panduan baik bagi mereka yang akan melaksanakannya dan mereka yang mengamatinya (A. Pal dalam Fattah, 2012: 129) Menurut kamus Oxford kebijakan berarti rencana kegiatan atau pernyataan tujuan-tujuan ideal (Fattah, 2012: 131). 


Harman menuturkan bahwa kebijakan adalah spesifikasi implisit atau eksplisit dari serangkaian tujuan tindakan yang diikuti atau harus diikuti yang terkait dengan pengenalan masalah atau masalah penting dan petunjuk untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Dalam Fattah 2012:135). Sedangkan kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi, membimbing, melalui interaksi individu dan kelompok sebagai wujud kerjasama di organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Masaong & Tilomi, 2011:150). Jadi, kebijakan pimpinan adalah hasil kerja yang ditunjukkan oleh pimpinan perguruan tinggi berdasarkan pemahamannya terhadap tugas pokok dan fungsinya masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Kompetensi dalam pasal 1 UU tentang Guru dan Dosen adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan oleh guru dan dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan (Dikti, 2010:90). 

Menurut Littrell dalam Hamzah (2008:62) kompetensi adalah kekuatan mental dan fisik untuk melakukan dan keterampilan yang dipelajari melalui latihan dan praktik. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Undang-Undang No.14 Tahun 2005). Dari berbagai penjelasan di atas dapatlah dikatakan bahwa kompetensi dosen adalah kemampuan individu dosen yang berkaitan dengan profesinya sebagai tenaga pengajar yang mencakup kemampuan kognitif, afektif, psikomotorik dan sosial. 

Pelayanan adalah suatu tindakan/ kebijakan penampilan yang salah satu bagian dapat ditawarkan kepada yang lain yang pada dasarnya tidak dapat dirasa dan tidak menghasilkan sesuatu apa yang dimiliki. Hal ini merupakan hasil yang tidak mungkin dihubungkan dengan hasil fisik (Kotler dalam Sarjono, 2007). Karyawan adalah Pegawai yang diangkat oleh Universitas indonesia yang dalam kegiatannya tidak melakukan kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Majelis Wali Amanat UI, 2003). Jadi pelayanan karyawan adalah upaya atau kegiatan yang dilakukan oleh karyawan perguruan tinggi untuk memberikan service kepada mahasiswa sesuai dengan tugas dan kewajibannya. 

Parasuraman dkk. (dalam Noermijati, 2010) mengatakan bahwa dalam jasa memiliki lima dimensi kualitas pelayanan yaitu; tangible (bukti fisik) berarti bahwa mahasiswa menghendaki adanya bukti yang dapat ditunjukan oleh karyawan yang dapat memuaskan mahasiswa seperti hal yang menyangkut ketepatan waktu, kemudahan, keramahan, dan interaksinya dengan mahasiswa. Reliable (kehandalan) dalam artian karyawan yang handal dalam mengerjakan tugas-tugas yang menjadi hak mahasiswa. Responsiveness (daya tanggap), berarti karyawan harus memiliki daya tanggap terhadap keluhan dan kebutuhan mahasiswa. Baik yang itu yang berkaitan dengan admnistrasi maupun hal lain yang menyangkut segala kebutuhannya. Assurance (jaminan) dalam artian karyawan harus memiliki pengetahuan, kompetensi, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya, bebas dari bahaya, resiko, atau keragu-raguan. Jaminan terhadap hal-hal tersebut akan ditunjukan lewat interaksi mahasiswa dengan pimpinan, dosen dan karyawan dalam lingkup akademis. Empathy (empati) yaitu meliputi kemudahan bagi mahasiswa dalam menjalin relasi, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan pemahaman kepada karyawan atas kebutuhan individu para mahasiswa. Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi mahasiswa tentang kontribusi kebijakan pimpinan, kompetensi dosen, dan pelayanan karyawan terhadap penjaminan mutu internal dan apakah dampaknya terhadap kepuasan mahasiswa. Kontribusi tersebut bisa apakah terjadi secara langsung atau melalui variabel antara dalam hal ini adalah penjaminan mutu internal.  

Metode Penelitian 

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan path analysis sebagai pisau analisisnya. Dilaksanakan pada STIH Muhammadiyah dan STAI Muhammadiyah Bima. Penelitian ini menggunakan lima instrumen penelitian yang dikembangkan dari hasil kajian teori. Instrumen tersebut dilakukan uji untuk mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas dan di uji cobakan kepada 30 responden dengan bantuan program SPSS for windows versi 16.0. 

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara dokumentasi dan angket (Sugiyono, 2011: 329). Hasil uji coba angket diperoleh 7 item soal yang tidak memenuhi standar validasi yaitu 1,3 dan 15 untuk item kepuasan mahasiswa, item nomor 3 dan 8 untuk kebijakan pimpinan, item nomor 12 untuk kompetensi dosen, dan item nomor 7 untuk pelayanan karyawan. Ketujuh item tersebut tidak di hapus hanya dilakukan perubahan redaksional. Angket disebar kepada 100 responden. Penentuan sampel berdasarkan standar minimal untuk path analisis. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa semua item angket dinyatakan valid. Dengan menggunakan metode belah dua maka didapat hasil perhitungan berada diatas 0.70. dengan demikian dikatakan reliable (Sugiyono, 2011). Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis statistik inverensial-parametrik karena instrumen penelitian berupa angket dan data berupa data interval dengan memakai skala Likert (Sugiyono, 2011). 

Untuk menguji hubungan variabel secara keseluruhan dengan kriteria rumusan sebagai berikut (Riduwan dkk, 2011: 136): Ha : ρzx1 = ρzx2 = ρzx3 = ρxy ≠ 0 H0 : ρzx1 = ρzx2 = ρzx3 = ρxy = 0 Sedangkan pengujian hubungan variabel secara individual menggunakan rumusan: Ha : ρzx1 / ρzx2 / ρzx3 / ρxy > 0 H0 : ρzx1 / ρzx2 / ρzx3 / ρxy = 0 Nilai probabilitas atau taraf signifikansi yang diharapkan agar memiliki nilai kontribusi adalah lebih dari atau sama dengan 0.05 (sig ≥ 0.05) maka Hipotesis alternatifnya (Ha) diterima, sedangkan hipotesis nuulnya (Ho) ditolak. Apabila nilai probabilitasnya kurang dari 0.05 (sig ≤ 0.05) hipotesis nuulnya (Ho) diterima. Rumus Model-1: Z = ρzx1 X1 + ρzx2X2 + ρzx3 X3 + ρzy Y + ρz ε1 dan rumus untuk mencari nilai ρz ε1 (variabel sisa) adalah ρz ε1 = 1 – R2zyx1x2x3. Dan Rumus Model-2 Y = ρyx1 X1 + ρyx2X2 + ρyx3 X3 + ρy ε2 dan rumus untuk mencari nilai ρy ε2 (variabel sisa) adalah ρy ε2 = 1 – R2yx1x2x3 (Riduwan dkk, 2011). Perhitungan dan Analisis data akan dilakukan dengan menggunakan SPSS 16.0.   

Hasil Penelitian dan Pembahasan Deskripsi data kepuasan mahasiswa didapat skor terendah 14 dan skor tertinggi 40 terdiri dari 15 soal angket dengan rata-rata skor angket sebesar 26,12 dengan penyimpangan sebesar 5,368. Penjaminan mutu internal diperoleh rentangan skor terendah 21 dan skor tertinggi 51 terdiri dari 16 soal angket dengan rata-rata skor angket sebesar 35,14 dengan penyimpangan sebesar 5,991. Kebijakan pimpinan diperoleh rentangan skor terendah 18 dan skor tertinggi 52 terdiri dari 10 soal angket dengan rata-rata skor angket sebesar 39,50 dengan penyimpangan sebesar 6,959. Kompetensi dosen diperoleh rentangan skor terendah 19 dan skor tertinggi 60 terdiri dari 13 soal angket dengan rata-rata skor angket sebesar 41,35 dengan penyimpangan sebesar 7,374. Pelayanan karyawan diperoleh rentangan skor terendah 11 dan skor tertinggi 38 terdiri dari 10 soal angket dengan rata-rata skor angket sebesar 26,08 dengan penyimpangan sebesar 4,702. Adapun hasil penelitiannya adalah sebagai berikut:

Pertama, kebijakan pimpinan (X1), kompetensi dosen (X2), pelayanan karyawan (X3), dan penjaminan mutu internal (Y) berpengaruh langsung secara simultan terhadap kepuasan mahasiswa (Z) dengan nilai Rsquare = 0.668 dan taraf signikansi 0.000 (0.000 < 0.05). dengan sumbangan efektif sebesar 66,8%. Penjaminan mutu internal sebagai variabel antaranya. 

Kedua, kebijakan pimpinan (X1) berpengaruh langsung secara kausal terhadap kepuasan mahasiswa (Z) (pengujian secara parsial) dengan nilai kontribusi sebesar 0.419 dan nilai sig 0.000 (β = 0.421, ρ < 0.05) dengan sumbangan efektif sebesar 17.5% dan memiliki hubungan tidak langsung melalui penjaminan mutu internal (Y) sebesar 0.493. 

Ketiga, kompetensi dosen (X2) berpengaruh langsung secara kausal terhadap kepuasan mahasiswa (Z) (pengujian secara parsial) dengan nilai kontribusi sebesar -0.134 dan nilai sig 0.535 (β = -0.134, ρ > 0.05) dengan sumbangan efektif sebesar 2% dan memiliki hubungan tidak langsung melalui penjaminan mutu internal (Y) sebesar 0.1. Keempat, pelayanan karyawan (X3) berpengaruh langsung secara kausal terhadap kepuasan mahasiswa (Z) (pengujian secara parsial) dengan nilai kontribusi sebesar 0.184 dan nilai sig 0.000 (β = 0.184, ρ < 0.05) dengan sumbangan efektif sebesar 3.3% dan memiliki hubungan tidak langsung melalui penjaminan mutu internal (Y) sebesar 0.249. 

Kelima, kebijakan pimpinan (X1) mempunyai kontribusi langsung yang signifikan terhadap kepuasan mahasiswa dengan sig 0.000 atau 0.05 > 0.000. Tetapi, tidak memiliki kontribusi yang tidak signifikan bila melalui jalur penjaminan mutu internal (Y) (sig > 0.05). Ini berarti bahwa untuk meningkatkan kepuasan mahasiswa tidak perlu melalui jalur penjaminan mutu internal (Y) tetapi harus langsung pada kebijakan pimpinan (X1). 

Keenam, kompetensi dosen (X2) tidak mempunyai kontribusi langsung yang signifikan terhadap kepuasan mahasiswa (Z) dengan sig 0.534 atau 0.05 < 0.534. Tetapi melalui jalur penjaminan mutu internal (Y) dengan sig 0.000 atau 0.05 > 0.000. Hal ini menandakan bahwa kepuasan mahasiswa terhadap kompetensi dosen harus melalui jalur variabel penjaminan mutu internal. 

Ketujuh, pelayanan karyawan (X3) tidak mempunyai kontribusi langsung yang signifikan terhadap kepuasan mahasiswa (Z) dengan sig 0.143 atau 0.05 < 0.143. Tetapi melalui jalur penjaminan mutu internal (Y) dengan sig 0.000 atau 0.05 > 0.000. Hal ini menandakan bahwa kepuasan mahasiswa terhadap pelayanan karyawan harus melalui jalur variabel penjaminan mutu internal. 

Kedelapan, kebijakan pimpinan (X1), kompetensi dosen (X2), dan pelayanan karyawan (X3), berpengaruh langsung secara simultan terhadap penjaminan mutu internal (Y) nilai Rsquare = 0.644 dan taraf signikansi 0.000 (0.000 < 0.05). dengan sumbangan efektif sebesar 64,4%. penjaminan mutu internal sebagai variabel antara. 

Kesembilan, kebijakan pimpinan (X1) berpengaruh langsung secara kausal terhadap penjaminan mutu internal (Y) (pengujian secara parsial) dengan nilai kontribusi sebesar 0.170 dan nilai sig 0.123 (β = 0.421, ρ < 0.05) dengan sumbangan efektif sebesar 2.9%. 

Kesepuluh, kompetensi dosen (X2) berpengaruh langsung secara kausal terhadap penjaminan mutu internal (Y) (pengujian secara parsial) dengan nilai kontribusi sebesar 0.537 dan nilai sig 0.000 (β = 0.537, ρ < 0.05) dengan sumbangan efektif sebesar 28.8%. 

Kesebelas, pelayanan karyawan (X3) berpengaruh langsung secara kausal terhadap penjaminan mutu internal (Y) (pengujian secara parsial) dengan nilai kontribusi sebesar 0.156 dan nilai sig 0.222 (β = 0.156, ρ > 0.05) dengan sumbangan efektif sebesar 2.4%. 

Keduabelas, penjaminan mutu internal (Y) berpengaruh langsung secara kausal terhadap kepuasan mahasiswa (Z) (pengujian secara parsial) dengan nilai kontribusi sebesar 0.436 dan nilai sig 0.000 (β = 0.436, ρ > 0.05) dengan sumbangan efektif sebesar 19%. Secara individual uji stitistik menunjukan antara kebijakan pimpinan dengan kepuasan mahasiswa memiliki kontribusi kausal sebesar 17.5%. Hal ini didukung oleh hasil pengukuran terhadap kebijakan pimpinan rata-rata skor angket sebesar 39,50 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 39,50. Dengan skor 38 menunjukan skor yang paling sering muncul sedangkan hasil pengukuran terhadap kepuasan mahasiswa diperoleh rata-rata skor angket sebesar 26,12 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 26,12 dengan menunjukan skor yang paling sering muncul (mode) adalah 30. Beberapa hasil penelitian menunjukan hasil yang sama. Sarjono (2007) menyatakan sumbangan efektif untuk kepemimpinan transformasional terhadap kepuasan mahasiswa sebesar 1.28%. Tetapi, yang membedakan dengan hasil penelitian ini adalah tingkat signifikan. Penelitian Sarjono tidak signifikan dalam penelitian ini hasilnya signifikan. Penelitian 

Derrik dkk (2010) antara komunikasi efektif terhadap kebijakan dengan tingkat signifikan 0.01. Walumbwa dkk (2011) menghassilkan bahwa kepemimpinan transformasional berpengaruh positif terhadap kebijakan bawahan (r=0.37, P < 0.01). Duan dkk (2010) Meneliti tentang keadilan pemimpin terhadap sikap komitmen bawahan menunjukan pengaruh yang positif (r = 0.45, P= 0.001). Dengan demikian antara hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya menunjukan hasil yang sama yaitu pengaruh yang positif dan kausal antara kebijakan pimpinan dengan kepuasan mahasiwa (β = 0.421, ρ<0 font="">

Secara individual uji stitistik menunjukan antara pelayanan karyawan dengan kepuasan mahasiswa kontribusinya sebesar 3.2%. Hal ini didukung oleh hasil pengukuran terhadap pelayanan karyawan diperoleh rata-rata skor angket sebesar 26,08 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 26,08. Dengan mode sebesar 29 menunjukan skor yang paling sering muncul. Sedangkan hasil pengukuran terhadap kepuasan mahasiswa diperoleh rata-rata skor angket sebesar 26,12 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 26,12 dengan menunjukan skor yang paling sering muncul (mode) adalah 30. Kenyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sawyer dkk. (2009) terhadap pelayan terhadap tujuh kepribadian karyawan, dan Prihantoro (2012) antara dimensi kualitas pelayanan jasa terhadap kepuasan mahasiswa. Dengan begitu hasil penelitian ini menunjukan pengaruh kausal antara pelayanan karyawan dengan kepuasan mahasiswa (β = 0.181, ρ > 0.05). 

Secara individual uji stitistik menunjukan antara penjaminan mutu internal dengan kepuasan mahasiswa kontribusinya sebesar 19%. Hal ini didukung oleh hasil pengukuran terhadap penjaminan mutu internal diperoleh rata-rata skor angket sebesar 35,14 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 35,14. Dengan menunjukan skor yang paling sering muncul adalah 34. Sedangkan hasil pengukuran terhadap kepuasan mahasiswa diperoleh rata-rata skor angket sebesar 26,12 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 26,12 dengan menunjukan skor yang paling sering muncul (mode) adalah 30. 

Hasil penelitian diatas sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jia Hu (2011) dalam penelitiannya menemukan bahwa mutu layanan berpengaruh positif terhadap kesetiaan pelanggan. Dengan demikian antara penjaminan mutu internal dengan kepuasan mahasiswa memiliki hubungan kausalitas (β = 0.436, ρ < 0.05). Mengacu pada hasil uji statistik diatas, secara simultan kebijakan pimpinan, kompetensi dosen dan pelayanan karyawan berpengaruh secara positif terhadap penjaminan mutu internal. Hasil perhitungan menunjukan kontribusi secara bersama–sama sebesar 64.4%. sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam penelitian ini. 

Adapun hubungan kausal secara individu adalah sebagai berikut: Secara individual uji stitistik menunjukan antara kebijakan pimpinan dengan penjaminan mutu internal kontribusinya sebesar 2.7%. Hal ini didukung oleh hasil pengukuran terhadap kebijakan pimpinan rata-rata skor angket sebesar 39,50 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 39,50. Dengan skor 38 menunjukan skor yang paling sering muncul. Sedangkan hasil pengukuran terhadap penjaminan mutu internal diperoleh rata-rata skor angket sebesar 35,14 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 35,14. Dengan menunjukan skor yang paling sering muncul adalah 34. Dengan asumsi adanya keterkaitan antara beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Sarjono (2007), Derik dkk. (2010), Walumbwa dkk (2010), Chiao (2011) dan Jackson (2009). 

Semua penelitian tersebut mendukung hasil penelitian ini dengan hasil bahwa kebijakan pimpinan berpengaruh positif terhadap penjaminan mutu internal perguruan tinggi (β = 0.170, ρ > 0.05). Secara individual uji stitistik menunjukan antara kompetensi dosen dengan penjaminan mutu internal kontribusinya sebesar 28.6%. Hal ini didukung oleh hasil pengukuran terhadap kompetensi dosen diperoleh rata-rata skor angket sebesar 41,35 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 41,35. Dengan mode sebesar 42 menunjukan skor yang paling sering muncul. Sedangkan hasil pengukuran terhadap penjaminan mutu internal diperoleh rata-rata skor angket sebesar 35,14 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 35,14. Dengan menunjukan skor yang paling sering muncul adalah 34. Penelitian yang searah dengan dan mendukung hasil penelitian ini adalah seperti yang dilakukan oleh Noermijati (2010), Giantari dkk (2008), Prihantoro (2012) dan Sahyar (2012). Semua penelitian mereka menunjukan adanya kontribusi yang positif antara kompetensi dosen terhadap penjaminan mutu internal (β = 0.537, ρ < 0.05). 

Secara individual uji stitistik menunjukan antara pelayanan karyawan dengan penjaminan mutu internal kontribusinya sebesar 2.6%. Hal ini didukung oleh hasil pengukuran terhadap pelayanan karyawan diperoleh rata-rata skor angket sebesar 26,08 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 26,08. Dengan mode sebesar 29 menunjukan skor yang paling sering muncul. Sedangkan hasil pengukuran terhadap penjaminan mutu internal diperoleh rata-rata skor angket sebesar 35,14 artinya rata-rata partisipasi anggota berada diatas rata-rata skor ideal yaitu 35,14. dengan menunjukan skor yang paling sering muncul adalah 34. Penelitian yang dilakukan oleh Sawyer dkk (2009), Prihantoro (2012) dan Wibowo (2009) menjadi patokan adanya hubungan antara pelayanan karyawan terhadap penjaminan mutu internal. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa antara pelayanan karyawan terhadap penjaminan mutu internal memiliki hubungan kausalitas yang positif (β = 0.165, ρ > 0.05).  

Simpulan  

Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana yang sudah dibahas di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 
  1. Kebijakan pimpinan, kompetensi dosen, pelayanan karyawan dan penjaminan mutu internal secara simultan berkontribusi secara signifikan terhadap kepuasan mahasiswa. Secara individu antara kebijakan pimpinan dengan kepuasan mahasiswa memiliki kontribusi yang signifikan. Tetapi, kebijakan pimpinan yang melalui jalur penjaminan mutu internal tidak memiliki kontribusi yang signifikan. Ini berarti bahwa untuk memperoleh kepuasan mahasiswa harus secara langsung melalui kebijakan pimpinan. Kompetensi dosen dengan kepuasan mahasiswa berpengaruh negative artinya tidak memiliki kontribusi yang signifikan. Tetapi, berkontribusi signifikan apabila melalui jalur penjaminan mutu internal, yang menandakan bahwa kepuasan mahasiswa terhadap kompetensi dosen harus melalui jalur penjaminan mutu internal. Sementara antara pelayanan karyawan dengan kepuasan mahasiswa secara langsung tidak berkontribusi signifikan. Tetapi, berkontribusi signifikan bila melalui jalur penjaminan mutu internal. 
  1. Secara simultan kebijakan pimpinan, kompetensi dosen dan pelayanan karyawan berkontrubusi dengan signifikan terhadap penjaminan mutu internal. Kebijakan berkontrubusi dengan signifikan terhadap penjaminan mutu internal. Ini berarti semakin baik kebijakan yang diberikan oleh pimpinan maka akan semakin baik mutu internal Perguruan Tinggi Muhammadiyah Bima. Jika kebijakan pimpinan rendah maka akan rendah pula penjaminan mutu internal. Hal yang sama juga terjadi antara kompetensi dosen dengan penjaminan mutu internal. Begitupun juga juga dengan pelayanan karyawan terhadap penjaminan mutu internal saling berkontrubusi secara signifikan. 
  2. Secara parsial antara penjaminan mutu internal dengan kepuasan mahasiswa berpengaruh secara positif. Ini berarti semakin baik penjaminan mutu yang dilakukan oleh lembaga dengan memaksimalkan kebijakan pimpinan, kompetensi dosen, dan pelayana karyawan sebagai variabel indpenden maka akan semakin terpuaskan perasaan mahasiswa dalam menempuh perkuliahan di PTM-Bima NTB.   

DAFTAR PUSTAKA 

Duan, Jingun, dkk 2010. ”Leadership Justice, Neagtife Organizational Behavior and Mediating Effect of Affektif Komitmen”, Journal Social Behavior and Personality, Vol. 38, Hal. 1287-1296. 

Ebta Setiawan, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline Versi 1.3, (http://ebsoft.web.id) di Download 07 Maret ‎2012, ‏‎Jam 8:48:07 Wib. 

Fattah, Nanang, 2012, Analisis Kebijakan Pendidikan, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya. 

Fatos Silman, Huseyin Gokcekus & Aytekin Isman, 2012, A Study on Quality Assurance Activities in Higher Education in North Cyprus, International Online Journal of Educational Sciences, 2012, 4(1), 31-38. ‎ 

Kadim, Masaong & Timoli, Arfan A. 2011. Kepemimpinan Berbasis Multiple Intelligence: Sinergi Kecerdasan Intelektual, Emosional dan Spiritual Untuk Meraih Kesuksesan yang Gemilang, Bandung, Alfabeta. 

Kementrian Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2010. Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi (SPM-PT), Jakarta. Keputusan Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia, Anggaran Rumah Tangga, Nomor: 01 /SK/MWA-UI/2003. ‎ 

Lung Chiau, Wen, dkk., 2011, Perceptions Of The Impact Of Chief Executive Leadership Style On Organizational Performance Through Successful Enterprise Resource Planning, Social Behavior And Personality, 2011, 39 (7), 865-878. 

Noermijati, 2010, ”Kajian Tentang Kepuasan Mahasiswa Terhadap Kebijakan Dosen Di Fakultas Ekonomi Unibraw”, Journal Of Manajemen Business review, Volume 7 No. 1, Januari 2010, Hal. 33-43. 

Sallis, Edward, 2011. Total Quality Manajemen In Education: Manajemen Mutu Pendidikan, Jakarta, IRCiSod. 

Sarjono, Yetty, 2007, Faktor- Faktor Strategik Pelayanan Dosendan Dampaknya Terhadap Kepuasan Mahasiswa FKIP Universitas Muhamadiyah Surakarta Tahun Akademik 2005-2006, Varidika, Vol. 19, No. 1, 2007. 

Sahyar, 2009, Pengaruh Kompetensi Dosen Dan Proses Pembelajaran Terhadap Kepuasan Mahasiswa. Pekbis Jurnal, Vol.1, No.3, November 131-139. 

Silman, Fatos dkk, A Study On Quality Assurance Actifities In Higher Education In North Cyprus, Internastional Online Journal of Educational Scinces, 2012 4 (1), 31-38. 

Sopiatin, Popi, 2010, Manajemen Belajar Berbasis Kepuasan Siswa, Bogor, Ghalia Indonesia. Srinadi, 2008, Faktor-Faktor Penentu Kepuasan Mahasiswa Terhadap Pelayanan Fakultas Sebagai Lembaga Pendidikan, Jurnal Cakrawala Pendidikan, Th. XXVII, No. 3. Hal 217-231 

Sudarmanto, 2009, Kebijakan dan Pengembangan Kompetensi SDM, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 

Sugiyono, 2011, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Cet. 13, Bandung, Alfabeta. 

Supranto, J. 2011, Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan: Untuk Menaikan Pangsa Pasar,Jakarta, Rineke Cipta. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen . 

Uno, Hamzah, 2008, Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, Jakarta, Bumi Aksara. 

Walumbwa, Fred O. Lamp; Hartnell, Chad A., 2011, Understanding Transformational Leadership Employee Performance Links: The Role of Relational Identification and Self-Efficacy, Journal of Occupational and Organizational Psychology (2011), 84, Hal. 153–172. 

Webb, Kerry S. 2009, Creating Satisfied Employees In Christian Higher Education: Research On Leadership Competencies, Christian Higher Education, 8: Hal. 18–31. 

Winarsih, Sri, 2007. “Pengaruh Persepsi Mutu Pembelajaran Praktek Laboratorium Kebidanan Terhadap Kepuasan Mahasiswa Di Program Studi Kebidanan Magelang Poltekkes Semarang Tahun 2007” Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Kamis, 23 Mei 2013

Pendidikan Agama Masa Depan

Semakin cepat arus informasi komunikasi dan telekomunikasi, maka semakin cepat pula tingkat perkembangan kemanusiaan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya intensitas manusia mengkonsumsi hal tersebut melalui Hand phone dan televisi. Inipun tidak terlepas dari kapasitas manusia yang memiliki rasa ingin tahu dan memiliki kebebasan. Tetapi, hal ini sangat riskan bagi sisi kemanusiaan manusia yang hanya mengedepankan rasio yang tidak dibarengi dengan iman. Alat-alat informasi yang semakin canggih bukannya dijadikan manusia sebagai alat untuk memenuhi kebutuhannya namun justru dijadikan sebagai tujuan. Untuk memiliki blackberry misalnya mahasiwi atau siswa rela menjual diri agar tidak tertinggal dengan temannya yang mempunyai blackberry. Pejabat negara dengan kekuasaan dan kewenangan yang ada padanya melakukan berbagai bentuk korupsi hanya untuk menambah jumlah saldo bank, mobil dan rumah mewah. Semuanya memang dianggap sebagai sesuatu hal yang lumrah dari sudut pandang nafsu, tetapi dari sudut pandang kemanusiaan dan keagamaan hal ini tergolong perbuatan yang keji. Dunia pendidikan baik yang sifatnya keagamaan maupun pendidikan umum tidak dapat berbuat banyak untuk membendung tingkahlaku manusia yang jauh dari petunjuk keagamaan. Ini berarti bahwa bukan saja kurikulum yang dijadikan kambing hitam bagi kegagalan dunia pendidikan kita namun semua hal yang terkait dengan bidang pendidikan kayaknya memiliki masalah yang serius untuk dibenahi. Sepertinya halnya lingkaran setan, dunia pendidikan kita sejak tahun 90-an tampaknya berada pada titik kulminasi yang buruk. Tingkat kompetensi pengajar yang kurang memadai ditambah lagi siswa yang susah diatur dan kepedulian orangtua yang kurang terhadap pembentukan akhlak anaknya. Kesemua masalah tersebut saling terkait dan diibaratkan benang kusut yang sangat sulit untuk mencari pangkal dan ujungnya. Pendidikan masa depan bukan sembarang pendidikan diperlukan pengkajian yang mendalam untuk dapat menyinergikan semua stakeholder pendidikan. Pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada penguasaan materi dan hafalan tetapi harus diarahkan pada pembententukan akhlak dan kepribadian yang tangguh dalam menghadapi kehidupan masa depan yang serba tidak terkendali. Pendidikan ini harus diarahkan pada aspek sosial kontekstual di mana mereka akan melangsungkan tongkat estafet kehidupan yang diinginkan sesuai dengan petunjuk al Quran dan Assunnah. Diarahkan untuk siswa mampu membendung segala bentuk nafsu baik berupa seksualitas bebas, konsumerisme, hedonisme dan berbagai bentuk isme-isme yang lain yang akan menempatkan manusia dibawah derajat hewaniah. Ada dua benteng terakhir yang perlu dibenahi agar pendidikan keagamaan kita berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Pertama, Maksimalisasi peran orang tua dalam pembentukan kepribadian anak sejak dini. Dan kedua, bekali guru umum dan agama dengan pengetahuan keagamaan yang baik. Orang tua sebagai orang yang bertanggung jawab penuh terhadap anak-anaknya mestinya memiliki pengetahuan yang memadai untuk membentuk kepribadian anak yang shaleh. Dan ini merupakan harapan setiap orangtua. Namun, dalam berbagai prakteknya orang tua sebenarnya sama sekali tidak peduli dengan kepribadiannya. Mereka dibiarkan besar menurut lingkungannya tanpa bimbingan yang memadai. Ibarat tanam padi kalau tidak diairi, dipupuk dan dikasi obat anti hama maka tidak akan tumbuh sesuai dengan harapan. Begitu pun juga dengan anak-anak tanpa bimbingan, kasih sayang, perhatian dan cinta serta pembatasan pergaulan tentu akan seperti padi tanpa air, pupuk dan pestisida. Hal yang justru terjadi, orang tua lebih memperhatikan padinya dari mulai tabur benih sampai panen, bahkan rela seharian penuh menunggu air mengairi seluruh petak sawah daripada menunggu dan membujuk anaknya untuk belajar dan memahami ilmu agama. sesuatu yang primer diabaikan untuk memenuhi kebutuhan primer yang lain, yang semestinya ini bisa ditempatkan secara bersamaan. Guru yang tidak memiliki pemahaman keagamaan yang bagus tidak mau belajar untuk membaguskan pemahaman kegamaannya. Pergi mengajar hanya untuk mengejar materi pelajaran, tanpa memperhatikan apakah materi tersebut sudah dicerna oleh siswa atau belum. Sekiranya dua hal ini bisa dibenahi maka kita bertawakal kepada Allah semoga apa yang kita usahakan hasilnya sesuai dengan yang kita harapkan.

Sabtu, 23 Februari 2013

Pendidikan Karakter: Upaya Baru Rekonstruksi Sosial di Indonesia

Upaya untuk mendesain ulang kurikulum agar dapat merekontruksi pendidikan di Indonesia tidak banyak memberikan hasil. Sejak zaman penjajahan baik oleh belanda maupun oleh jepang terjadi beberapa perubahan kurikulum sesuai dengan kepentingan dari penjajah. Sejak tahun 90 an sampai dengan hari ini telah terjadi tiga kali pergantian kurikulum. Walaupun beberapa ahli berpendapat bahwa KTSP sebenarnya memiliki semangat sebagaimana yang termuat pada kurikulum berbasis kompetensi (KBK).  

Merebaknya masalah dalam dunia pendidikan di Indonesia membuat kita berpikir bahwa pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia telah menemui jalan buntu. Betapa tidak, sejak satu dekade ini muncul berbagai masalah seperti halnya meningkatnya kasus korupsi, permasalahan ujian nasional, pelecehan terhadap siswa bahkan pelecehan terhadap guru oleh orang tua murid. Nilai sejati yang diusung dunia pendidikan nampaknya tidak memiliki ruh untuk merasuki pola pikir para siswa dan guru sehingga yang terjadi bukannya perbaikan moral bangsa tapi malah membawa moral bangsa menuju pada jurang kehancuran. 

Sejak awal tahun 2010 pemerintah telah menggagas model pendidikan baru dengan label pendidikan karakter. Dengan harapan bahwa dalam pendidikan karakter ini masyarakat pada umumnya atau siswa pada khususnya memiliki kesadaran bahwa pola hidup dan tata cara kita bergaul dalam kancah kehidupan ini sudah tidak memiliki karakter sebagai bangsa ketimuran yang menghargai etika dan bermoral agama. Istilah Pendidikan karakter itu sendiri sebenarnya bukan hal baru, semangat pendidikan karakter sudah termuat dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang termuat dalam fungsi pendidikan nasional. Pendidikan karakter terdiri dua kata pendidikan dan karakter. 

Pendidikan berarti usaha sadar orang dewasa untuk memanusiakan manusia. Sedangkan karakter disamakan dengan istilah etika, akhlak, dan kekuatan moral yang positif. Dalam kamus bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan dengan orang lain. Jadi, pendidikan karakter adalah upaya lembaga penyelenggara pendidikan untuk membentuk akhlak, nilai moral, dan etika peserta didik dengan harapan membentuk budaya bangsa yang berperadaban. Merujuk pada 18 nilai pendidikan karakter yang diusung dalam pedoman pendidikan karakter yang dikeluarkan oleh Depdiknas menjadi jelas bahwa fungsi pendidikan sebagai alat rekayasa sosial akan semakin nyata. Tetapi yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah kedelapan belas nilai tersebut dapat diterapkan dan diaplikasikan dengan mudah oleh unsur-unsur pendidikan (dalam hal ini adalah Guru dan siswa)? Guru sebagai Pembina karakter Guru sebagai Pembina karakter peserta didik diharapkan dapat berbuat lebih terhadap kebijakan pemerintah terkait dengan pemberlakuan pendidikan karakter. Maka, hal pertama dan utama yang dilakukan oleh seorang guru adalah memberikan ketaladanan yang terbaik yang bisa kita bedakan dengan orang lain. Ketaladan adalah kata kunci terakhir yang bisa diharapkan dari seorang guru. Oleh karena itu, untuk membentuk karakter peserta didik diharapkan guru membentuk karakter diri sendiri terlebih dahulu sebelum membentuk karakter peserta didik. Kata-kata itu menggerakkan, namun teladan lebih memikat hati yang dalam bahasa latinya yaitu verba movent exampla prahunt menjadi pepatah yang dijadikan rujukan dalam dunia pendidikan barat. 

Guru menjadi agen pembawa nilai bukan melalui kata-kata tetapi melalui keteladanan. Sehingga berdasarkan nilai-nilai pendidikan karakter hendaknya guru dapat diteladani dari sifat-sifat Religiusitas, kejujuran, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah Air, Menghargai Prestasi, Bersahabat/Komuniktif, Cinta Damai, Gemar Membaca, Peduli Lingkungan, Peduli Sosial, dan Tanggung-jawab. Dengan demikian apabila semua sifat-sifat ini bisa diteladani dari seorang guru maka kita sebagai orang tua tidak perlu khawatir lagi untuk menyekolahkan anak-anaknya. Tidak mesti lagi ada kesenjangan antara sekolah yang berorinetasi agama (pesantren dan Madrasah) dengan sekolah umum, karena semua guru baik yang berpendidikan agama maupun non agama telah sama-sama memahami nilai-nilai pendidikan karakter sebagai basis dalam berbuat dan berinteraksi, dalam mengajar dan mendidik. Pepatah latin lain mengatakan nemo dat quod non habet yang berarti tidak seorang pun memberikan dari apa yang tidak dimilikinya. Hal ini menandakan bahwa seorang guru tanpa memiliki nilai karakter yang dapat ditiru tidak mungkin dapat memberikan bimbingan yang berkesan bagi peserta didik. Seorang guru tidak akan bisa memberikan apa-apa kalau ilmu dan karakter dia tidak punya, begitupun sebaliknya seorang guru yang memiliki komitmen tinggi untuk belajar dan karakter yang terpuji sebagaiman yang termuat di atas, akan bisa ditularkan dengan leluasa kepada siswanya. Inilah arti dari live long education, belajar seumur hidup atau belajar dari buaian sampai liang lahat. Guru tanpa memiliki karakter ibarat mayat yang berjalan. Karakter adalah nilai fundamental yang harus dimiliki oleh seorang guru. 

Dalam sebuah kata bijak mengatakan seorang yang kehilangan harta tidak merasa ada yang hilang, seorang yang kehilangan kesehatannya merasa ada yang hilang darinya, tapi apabila seorang kehilangan karakternya maka hilang segalanya. Pembentukan Karakter Peserta Didik Upaya untuk membentuk karakter peserta didik tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Dibutuhkan kesabaran, ketelatenan, dan keikhlasan serta kesadaran dari seorang guru. Kesadaran guru bahwa membentuk karakter siswa lebih penting dibandingkan dengan pemahamannya terhadap materi yang disampaikan. Inilah sebenarnya hakikat dari pendidikan itu sendiri, yaitu pemberian semangat dan keteladanan untuk memahami hakikat kehidupan dan penciptaan dirinya oleh Allah agar bisa menjadikan dirinya berguna baik secara sosial maupun maupun secara agamis. Segala usaha pendidikan sebagai alat rekayasa sosial akan terhambat jika para guru tidak memahami hakikat ini. Maka, sebagai alat rekayasa social pendidikan tidak hanya diorientasikan pada penguasaan materi (walaupun itu penting) tetapi harus diutamakan adalah pembentukan karakter peserta didik agar memiliki tata cara kehidupan yang berkeadaban. Dalam falsafah pendidikan di Indonesia guru/sekolah bukan satu-satunya tempat untuk membentuk karakter seorang peserta didik. Namun, yang tidak kalah berperan adalah orang tua sebagai pemilik otoritas tertinggi terhadap siswa. Paradigma orang tua siswa yang mempercayakan penuh pendidikan anak-anaknya pada pihak sekolah harus segera diberikan kesadaran. Karena ini akan berdampak pada sikap meremehkan dari orang tua terhadap pembentukan karakter dan akhlak anaknya. Trilogy pendidikan (guru - orang tua - lingkungan) semestinya perlu mendapatkan perhatian. 

Orang tua sebagai pemegang otoritas tertinggi terhadap anaknya semestinya punya peran untuk menyukseskan tujuan mulia dari pendidikan karakter. Jangan semata-mata menyerahkan pendidikan dan keberlangsungan masa depan anaknya pada pihak sekolah. bagaimanapun juga dari 24 jam sehari hanya hanya 5-6 jam yang digunakan oleh oleh sekolah untuk mendidik dan mengajar dengan berbagai mata pelajaran yang berbeda dan guru yang berbeda pula. Sedangkan orang tua memiliki waktu 18-19 jam bagi anak-anaknya. Kalau saja peran ini dimaksimalkan oleh orangtua untuk membentuk karakter anaknya, tentu akan lebih efektif dibandingkan mempercayai sepenuhnya.

Menurut asumsi penulis lingkungan bukanlah sebab bagi berhasil tidaknya pendidikan. Lingkungan itu ada karena adanya interaksi antara beberapa orang yang terkumpul dari beberapa anggota keluarga. Jadi lingkungan adalah akibat sedangkan penyebabnya adalah keluarga. Lingkungan itu akan baik apabila dibangun dengan latar belakang keluarga yang baik-baik. Sesuatu yang bersifat “akibat” tidak bisa dijadikan dasar yang hakiki terhadap keberlangsungan pendidikan. Dengan demikian dua arus utama yang menjadi tolak ukur berhasil tidaknya pendidikan karakter di Indonesia adalah Orangtua dan guru. Dengan melaksanakan tupoksi masing-masing, insya Allah akan mampu melahirkan peserta didik / anak-anak bangsa yang memiliki nilai karakter seperti yang sudah di desain oleh pemerintah. Sebagai orang tua yang baik Wallahu a`lam bishawab.

Total Tayangan Laman

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *