Jumat, 20 April 2012

REVITALISASI PERAN GURU: MENYAMBUT UJIAN NASIONAL 2012

Tujuan dari tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan peran guru dalam dunia pendidikan. Namun, semata-mata sebagai upaya otokritik terhadap peran guru yang sudah mengalami perubahan dari peran semestinya. Siapapun yang lahir kedunia ini, pasti pernah merasakan indahnya masa-masa sekolah, indahnya masa-masa ketika melihat guru melemparkan senyuman khasnya saat kita menjawab salah pertanyaannya karena kebodohan kita. Kendati demikian, guru bukanlah seorang malaikat yang tanpa salah dan khilaf, dia tetaplah sebagai manusia biasa yang selalu memiliki potensi untuk melakukan kesalahan dan kekhilafan. Revitalisasi dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti proses, cara, perbuatan atau menggiatkan kembali. Sedangkan peran berarti perangkat tingkah yg diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat. Kalau hal ini dikaitkan dengan peran guru berarti tingkah yang diharapkan dari seorang guru. Sedangkan guru Menurut PP Nomor 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi guru dan Dosen mendefinisikan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Jadi, hal yang di revitalisasi yang dimaksud disini adalah sesuatu yang semula baik namun dalam perjalannya terjadi penyimpangan atau mengalami distorsi dari peran yang sebenarnya. Dengan demikian revitalisasi ini berarti upaya memperbaiki kembali tingkah laku yang diharapkan dari seseorang yang berperan dalam masyarakat menuju pada tujuan utamanya. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Slogan inilah yang pantas kita sematkan pada guru terhadap tugas mulianya. Sebutan ini semestinya menjadi gambaran yang perlu direnungi bahwa keihlasan seorang guru dalam mendidik dan mengajar anak-anak bangsa tidak ada yang menandingi. Hal ini terbukti, ketika era tahun 80-an kebawah guru digaji hanya dengan beberapa kilogram beras, namun tidak menyurutkan langkah kakinya untuk menyebrangi sungai dan menuruni bukit dalam rangka mencerdaskan anak-anak negeri. Melorotnya pamor para pendidik akhir-akhir ini membuat hati kita merasa ngiris, bagaimana tidak seorang yang seharusnya dimuliakan karena tugasnya dan menjadi pahlawan dalam mencerdaskan anak bangsa justru kehilangan harga dirinya. Peran mulia pendidik menjadi ternoda dan mulai banter paling tidak ketika ujian nasional diberlakukan di Indonesia. Kebijakan pemerintah untuk mengukur standar pendidikan secara nasional dengan Ujian Nasional (UN) ternyata berdampak pada bergesernya nilai-nilai kemuliaan pada guru. Tidak salah Doni kusuma dalam bukunya Pendidikan Karakter di Zaman Keblinger (2011) mengatakan “alih-alih sebagai seorang aktor yang mengubah orang lain, guru seringkali sulit mengubah dirinya sendiri. Guru dalam konteks perubahan adalah bagian dari masalah bukan solusi”. Betapapun mulia tugas yang diemban oleh guru, kalau tidak diimbangi dengan perbaikan karakter dan pola hidup mereka, justru akan menjadikan kepercayaan masyarakat menurun terhadap dunia pendidikan. Dan bukan tidak mungkin konsep Paulo Freire tentang konsientasi tanpa sekolah menjadi alternatif dalam proses pendidikan di Indonesia. Menyambut Ujian Nasional 2012 Ujian Nasional (UN) merupakan lawatan tahunan dalam system pendidikan nasional. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk mengetahui kualitas pendidikan di Indonesia secara nasional bahkan dunia. Untuk penyelenggaraan ujian nasional pemerintah harus mengeluarkan dana lebih kurang Rp.600 miliar pertahun yang dipergunakan untuk pengadaan soal, LJK dan lain sebagainya. Disamping sebagai rutinitas tahunan UN menjadi ajang pertarungan jati diri. Tidak hanya pemerintah sebagai penentu kelulusan dan pembuat kebijakan tetapi juga guru dan pihak sekolah sebagai pelaksana. Pertarungan kepentingan dua arus utama ini didasarkan pada pengamatan penulis terhadap fenomena yang terjadi pada saat dan setelah UN berlangsung. Jati diri pemerintah akan dipetaruhkan ketika kebijakan ujian nasional ini tidak bisa diterima secara nasional. Kebijakan ini tidak diterima manakala intensitas penyontekan secara nasional masih massif dilakukan dengan berbagai modusnya. Kalau hal ini terjadi, berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan paling tidak akan merasa tidak dihargai oleh sekolah dan guru sebagai pelaksana UN. Dengan demikian akan melahirkan asumsi masyarakat bahwa pemerintah telah gagal dalam mengawal regulasi dan system yang telah dibuat. Begitupun dengan jati diri sekolah sebagai pelaksana ujian. Kredibilitas dan kualitas sekolah akan tergadaikan manakala hasil ujian nasional tidak memuaskan. Ketakutan dan kekhawatiran akan rendahnya tingkat kelulusan inilah yang menjadikan pihak sekolah menempuh segala cara untuk mendapatkan tingkat kelulusan seratus persen. Sehingga, dengan tingkat kelulusan yang seratus persen tadi paling tidak meningkatkan nilai prestise sekolah dimata masyarakat. Namun, yang menjadi pertanyaan besar buat kita adalah sampai kapan pertarungan jati diri ini belangsung? Saling mempertahankan status quo antara pemerintah dan stakeholder sekolah membuat dunia pendidikan semakin runyam dan kompleks untuk dipahami. Terlepas dari kontroversi pelaksanaan ujian nasional dan pertarungan jati diri antara pemerintah dan pihak sekolah diatas, peran guru sebagai agen perubahan dan peletak nilai-nilai dasar kejujuran dan moralitas tidak bisa kita pungkiri. Guru, kejujuran dan moralitas mestinya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Apalah artinya guru tanpa kejujuran dan moralitas yang baik, dia hanya akan dipandang sebagai tukang “jajan ilmu” tanpa berdampak pola tingkah laku guru sebagai orang yang layak digugu dan ditiru. Pasal 3 UU Sisdiknas Nomor 20 menjelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Guru sebagai pelaksana tujuan dan fungsi pendidikan nasional mestinya memahami betul pasal 3 ini. Semangat pendidikan nasional Indonesia sebenarnya sudah cukup sempurna, yaitu tercipatanya moralitas dan kejujuran para peserta didik serta pengetahuan yang memadai dalam membangun kemandirian dan kretifitas. Ketika kejujuran dan kemandirian tidak lagi menjadi ciri khas bagi lembaga pendidikan maka kita tinggal menunggu waktu saja untuk sama-sama melihat generasi kita menjadi animal generation. Generasi yang hanya mementingkan diri sendiri, korup, bebal, hedonis, materialis. Hidup dan pola pikirnya sudah tidak lagi memiliki orientasi yang jelas. Apa yang dikatakan Harun Yahya patut menjadi pelajaran buat guru dia mengatakan Nilai-nilai moral masyarakat di mana kita tinggal sudah menyesatkan. Prinsip-prinsip moral ini yang merupakan hasil dari hasrat mementingkan diri sendiri serta keserakahan masyarakat, kemudian berubah menjadi keegoisan, kesom-bongan, kesinisan, kekerasan, dan kebrutalan dalam masyarakat. Masyarakat percaya bahwa untuk meningkatkan standar hidup, mereka harus mencurangi dan mengalahkan yang lainnya. Maka, untuk Menyambut ujian nasional tahun 2012 ini penulis mengajak kepada semua pendidik yang ada di nusantara ini, mari kita kembalikan jati diri guru sebagai orang yang layak untuk di gugu dan ditiru. Kembalikan slogan guru pahlawan tanpa tanda jasa pada rel yang semestinya. guru adalah wadah untuk murid menimba ilmu dan belajar tentang akhlak dan moral. Guru adalah orangtua kedua bagi siswa, maka sebagai orang tua yang baik didiklah anak-anakmu dengan nilai-nilai luhur ketimuran yang bersifat agamis. Pengalaman masa lalu cukuplah menjadikan para pendidik sadar bahwa kejujuran tidak dapat dihargakan dengan kelulusan. Lulus dalam ujian nasional dengan cara-cara yang tidak baik jauh lebih mulia daripada tidak lulus tapi dengan kejujuran. Bagaimana mungkin bangsa ini dapat terlepas dari jeratan korupsi yang terus menggurita kalau gurunya saja mengajarkan ketidakjujuran dalam pelaksanaan ujian nasional. Jadikanlah UN ini sebagai langkah awal untuk mencarger kembali spirit kejujuran dalam diri. Perubahan yang anda berikan akan menentukan masa depan bangsa dua puluh sampai limapuluh tahun yang akan datang. Paling tidak saat itu kita masih menemukan manusia-manusia yang masih memiliki nilai kejujuran dan moral yang baik karena didikan anda.

Total Tayangan Laman

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *