Perum pegadaian sebagai perusahaan miliki negara
yang bergerak dibidang gadai, telah melahirkan berbagai terobosan dalam rangka
menjawab dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk menjawab kebutuhan tersebut
perum pegadaian menetaskan anak perusahan baru yang bernama pegadaian syariah
sebagai alternatif bagi umat islam yang ingin membebaskan diri dari praktik
riba dan bunga yang ada pada pegadaian umum/konvensional. Namun dibalik
keinginan tersebut, berdasarkan kajian ini ternyata masih jauh praktik gadai
yang dituntun berdasarkan syariat seperti pembatasan akad gadai yang hanya
dilakukan selama empat bulan. Disamping itu, ketentuan Rahn (gadai syariah) oleh pegadaian
syariah telah melabrak fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002
tanggal 26 Juni 2002 yang mengatakan bahwa “besar biaya administrasi dan
penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman”.
Sementara praktik pegadaian syariah pada hari ini besar biaya administrasi dan
biaya ijaroh tergantung pada besar kecilnya pinjaman.
Kata Kunci:
Pegadaian syariah, Rahn, Ijaroh, dewan syariah
A.
PENDAHULUAN
Adanya berbagai macam kebutuhan yang mendesak di
zaman modern ini, mendorong orang yang tidak memiliki kemampuan finansial yang
memadai untuk menggadaikan harta benda yang mereka dimiliki. Hal ini dilakukan
apabila dalam kehidupan baik berumah tangga maupun sosial terdesak oleh
kepentingan yang tidak bisa ditunda. Maka alternatif terakhir yang lakukan
adalah menggadaikan harta benda tersebut
kepada perum pegadaian untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Pegadaian adalah suatu lembaga perkreditan tertua
bercorak khusus, berdiri sejak zaman penjajahan Belanda dan telah dikenal
masyarakat sejak lama, khususnya masyarakat golongan berpenghasilan menengah
dan bawah. Pegadaian mempunyai tugas memberikan pelayanan jasa kredit berupa
pinjaman uang dengan jaminan barang bergerak.
Dalam perkembangannya, perum pegadaian merupakan
merupakan alternatif terbaik bagi masyarakat yang rata-rata memiliki tingkat
ekonomi yang lemah untuk di mintai kredit dengan barang jaminan tertentu.
Seperti halnya emas, tv, motor dan lain sebagainya. Bersamaan dengan itu pula,
karena terdorong oleh semangat kebergamaan khususnya di Indonesia berkembanglah
apa yang dinamakan dengan pegadaian syariah.
Pegadaian syariah lahir karena adanya tuntutan
dari beberapa komponen masyarakat islam yang tidak menghendaki proses pemberian
yang berbau riba. Sehingga untuk menjawab itu semua oleh pemerintah dibentuklah
pegadaian syariah yang dalam pengamatan penulis hampir sama dengan proses
lahirnya pegadaian syariah di Indonesia.
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat juga
dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu
dicermati bahwa PP 10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk
mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP
103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian
sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra
Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Pegadaian, telah sesuai
dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa
aspek yang menepis anggapan itu.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No.178 tanggal 3 Mei 1961 Jawatan Pegadaian diubah menjadi Perusahaan
Negara (PN) Pegadaian, sebagai badan usaha milik negara (BUMN) di bawah naungan Departemen Keuangan.
Dengan terbitnya Inpres No.17 tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah No.7 tahun
1969, PN Pegadaian beralih statusnya menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan)
Pegadaian.
Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1990 tanggal 10
April 1990 dan PP No.103 tahun 2000 tanggal 10 Nopember 2000 ini pula,
Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum)
Pegadaian dengan usahanya adalah penyediaan pelayanan bagi kemanfaatan umum
sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan dan
bertujuan untuk; Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan
menengah ke bawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai dan jasa di
bidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktek riba dan pinjaman
tidak wajar lainnya.
Berangkat dari penjelasan pada latar belakang inilah peneliti ingin meneliti dan membandingkan bagaimana sebenarnya pegadaian syariah dan
pegadaian konvensional? Dan Dimanakah
titik perbedaan dan persamaanya?
B.
LANDASAN
TEORI
Pegadaian Syariah
Kata gadai dalam kamus besar bahasa Indonesia
berarti meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang
sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus, barang itu
menjadi hak yang memberi pinjaman (KBBI Offline, 2011).
Menurut Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri Gadai yaitu memperkuat hutang
dengan benda yang bisa membayarnya darinya, atau dari harganya, jika tidak bisa
membayar dari jaminan peminjam (At-Tuwaijri, 2009).
Pegadaian adalah suatu lembaga perkreditan tertua
bercorak khusus, berdiri sejak zaman penjajahan Belanda dan telah dikenal
masyarakat sejak lama, khususnya masyarakat golongan berpenghasilan menengah
dan bawah. Pegadaian mempunyai tugas memberikan pelayanan jasa kredit berupa
pinjaman uang dengan jaminan barang bergerak.
Kegiatan menjaminkan barang-barang untuk
memperoleh sejumlah uang dan dapat ditebus kembali setelah jangka waktu
tertentu tersebut disebut dengan nama usaha gadai. Dengan usaha gadai
masyarakat tidak perlu takut kehilangan barang-barang berharganya dan jumlah
uang yang diinginkan dapat disesuaikan dengan harga barang yang dijaminkan.
Perusahaan yang menjalankan usaha gadai disebut perusahaan pegadaian dan secara
resmi satu-satunya usaha gadai di Indonesia hanya dilakukan oleh Perusahaan
Pegadaian.
Secara umum pengertian usaha gadai adalah kegiatan
menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh
sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan
perjanjian antara nasabah dengan pihak pegadaian (Sasli Rais, 2006).
Di dalam kredit, pihak kreditor tentu tidak mau
memberikan kredit kepada debitor tanpa adanya suatu jaminan. Biasanya jaminan
dalam kredit yang diberikan kepada kreditor adalah yang berwujud benda, dimana
pihak kreditor memberikan piutang dengan sejumlah uang, sedangkan pihak debitor
dalam memperoleh kredit tersebut memberikan suatu jaminan (benda) kepada
kreditor untuk menguasai benda sebagai jaminan hutang yang dimaksud. Jarminan
yang disebut diatas dinamakan gadai (Suyatno dkk, 1993).
Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian
marak di Indonesia, tidak terkecuali pegadaian. Perum pegadaian mengeluarkan produk berbasis syariah yang
disebut dengan pegadaian syariah. Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah
memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk
karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang
diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan
atau bagi hasil. Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam
pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau
Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhumbih (UP)
mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumsi, membayar uang
sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode Mudharobah belum tepat
pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan metode Fee Based Income
(FBI) (Kashadi, 2000).
Sebagai penerima gadai atau disebut Mutahim,
penggadai akan mendapatkan Surat Bukti Rahn (gadai) berikut dengan akad
pinjam-meminjam yang disebut Akad Gadai Syariah dan Akad Sewa Tempat (Ijarah).
Dalam akad gadai syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang
maka penggadai menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin guna
melunasi pinjaman. Sedangkan Akad Sewa Tempat (ijarah) merupakan kesepakatan
antara penggadai dengan penerima gadai untuk menyewa tempat untuk penyimpanan
dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat
dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu
dicermati bahwa PP/10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk
mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP
103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian
sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi pegadaian pra
Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai
dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Dan
setelah melalui kajian panjang akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit
Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang
menangani kegiatan usaha syariah (Edy Putra The’Aman,
1989).
Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada
sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas
yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu
sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai
Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain
Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural
terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah
pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah (
ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian
pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di
tahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor
Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah (Edy Putra The’Aman, 1989).
Pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas
dua akad transaksi Syariah yaitu (Ghafar dan Abd. Ghani, 2006):
§ Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah
menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya,
pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau
sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai
jaminan atas utang nasabah.
§ Akad Ijarah. Yaitu akad
pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa,
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui
akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang
bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.
Dari landasan Syariah
tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai
berikut: Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan
dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang
timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan,
biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan
bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang
disepakati oleh kedua belah pihak.
Untuk dapat
memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan
harta geraknya (emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal.
Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut
yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa
simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang
ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan
oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah
sebesar 90% dari nilai taksiran barang.
Pegadaian Konvensional
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, pemerintah
mendirikan Lembaga Keuangan Bank (LBK) dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB).
Salah satu Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) adalah Perum Pegadaian. Pada
awalnya Lembaga Pegadaian adalah Perusahaan Jawatan, namun melalui peraturan
pemerintah Nomor 10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990 bentuknya berubah menjadi
Perusahaan Umum.
Apabila dilihat dari fungsi dan jenis kegiatanya
pegadaian merupakan salah satu Lembaga Keuangan Bukan Bank yang fokus
kegiatanya adalah pembiayaan. Perum pegadaian dapat memberikan pinjaman kepada
masyarakat luas dengan tujuan ikut
membantu program pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan khususnya
golongan ekonomi menengah kebawah, melalui kegiatan utamanya yaitu memberikan
penyaluran kredit kepada masyarakat.
Pegadaian adalah suatu badan atau organisasi yang
bergerak dalam bidang pelayanan jasa peminjaman uang dengan menggadaikan suatu
barang sebagai jaminannya. Menurut Sarli
Rais Secara umum pengertian gadai adalah : “Kegiatan menjaminkan
‘barang-barang’ berharga kepada pihak-pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah
uang, dimana barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan
perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai (Sarli, 2005).
Kegiatan menjaminkan barang-barang untuk memperoleh
sejumlah uang dan dapat ditebus kembali setelah jangka waktu tertentu tersebut
disebut dengan nama usaha gadai. Dengan usaha gadai masyarakat tidak perlu
takut kehilangan barang-barang berharganya dan jumlah uang yang diinginkan
dapat disesuaikan dengan harga barang yang dijaminkan. Perusahaan yang
menjalankan usaha gadai disebut perusahaan pegadaian dan secara resmi
satu-satunya usaha gadai di Indonesia hanya dilakukan oleh Perusahaan
Pegadaian.
Menurut
Decker (1963) yang dikutip
Suharto beberapa prinsip yang
dianut perum pegadaian sebagai
lembaga perkreditan rakyat
(istilah yang dipakai
sejak jaman kolonial) adalah sebagai berikut (dalam Sijabat, 2010) :
a. Memberikan
pelayanan yang mudah dan cepat
untuk rakyat yang tidak berpendidikan atau
berpendidikan rendah. Pada
saat sebelum Kemerdekaan ditiap
pegadaian disiapkan juru gadai. Juru gadai bertugas membantu nasabah
untuk mendapatkan pinjaman,
mulai dari pengisian formulir, sampai
dengan menghitung uang
yang dipinjam dari
loket. Selain itu menjadi petugas
tetap yang mendampingi kliennya
dan jika perlu akan
datang dari rumah
ke rumah untuk mengingatkan nasabah atas pinjamannya;
b. Menetapkan
tingkat bunga berdasarkan kemampuan nasabah. Untuk itu, pegadaian setiap
saat akan mengevaluasi
kemampuan nasabah untuk membayar pinjamannya.
Sekiranya nasabah dinilai
mampu membayar pada tingkat
bunga tertentu maka
tingkat bunga tersebut
akan dipertahankan atau bahkan mungkin ditingkatkan;
c. Menetapkan batas
pinjaman maksimal berdasarkan
taksiran nilai jual maksimal
agunan pada waktu
batas akhir pembayaran.
Jadi besar pinjaman bervariasi
berdasarkan jangka waktu pinjaman. Semakin
lama waktu pinjaman maka nilai maksimal pinjaman semakin kecil. Misalnya
untuk satu tahun
adalah 60% dari
nilai agunan, sedangkan
untuk tiga bulan biasanya
mencapai 80% dari nilai agunan;
d. Tidak
membatasi tujuan penggunaan pinjaman atau nasabah bebas/boleh menggunakan
pinjaman untuk tujuan apa saja;
e. Pembangunan dan
erasionalisasi pegadaian dikoordinasikan dengan pemerintah daerah,
dan memperhatikan saran-saran
dari pemerintah daerah.
C. METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kualitatif. penelitian kualitatif ingin mendapatkan
pemahaman yang mendalam. Untuk itu harus mencari nomenon atau makna di
balik fenomena. Atau dapat dikatakan penelitian kualitatif ingin mendapatkan
makna di balik fenomena, untuk itu perlu mendapatkan pemahaman yang mendalam
dari suatu fenomena (Heru Basuki, 2006: 27). Dalam pengertian yang lain penelitian kualitatif adalah suatu
proses penelitian untuk memahami masalah-masalah manusia atau sosial dengan
menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan dengan kata-kata,
melaporkan pandangan terinci yang diperoleh dari para sumber informasi, serta
dilakukan dalam latar (setting) yang alamiah (Heru Basuki, 2006: 48).
Sedangkan jenis penelitiannya adalah penelitian
deskriptif di mana dalam penelitian ini peneliti berupaya untuk proses
pemecahan masalah yang sedang diselidiki dengan melukiskan keadaan subyek dan
obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
bagaimana adanya (Sugiyono, 2011).
Penelitian dilaksanakan di Kota Bima dengan
mengambil subyek penelitian pada pegadaian syariah dan pegadaian konvensional.
Analisis data difokuskan pada surat bukti kredit dan data-data yang lain yang
dapat mendukung proses analisis agar lebih tajam dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
D. HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sebagaimana
yang telah diuraikan sebelumnya bahwa penyusunan penelitian ini diarahkan pada dua isu utama. Pertama
tentang konsep kredit. Kedua penggunaan. Maka untuk kepentingan analisis
terkait dua hal diatas, penyusun memusatkan
analisisnya pada Surat Bukti Kredit selanjutnya disebut SBK masing-masing
pegadaian. Disamping itu analisis
pembanding dilakukan dengan buku-buku dan konsep-konsep lain yang sesuai dengan
topik yang dibahas.
Pembahasan terkait dengan konsep kredit
merupakan pembahasan yang sangat esensial dalam penelitian ini. Di awali dari
sebuah keyakinan bahwa ada perbedaan dan persamaan dari segi konsep antara
pegadaian syariah dan pegadaian
konsvensional. Berangkat dari hal tersebut, analisa perbandingan ini berupaya mengungkap hal-hal yang selama
berada di area abu-abu antara kedua pegadaian tersebut.
Berdasarkan pada surat Surat Bukti Kredit
(SBK), masing-masing pegadaian telah menguraikan panjang lebar seputar hal dan
konsep terkait kreditnya masing-masing. Dalam konsep pegadaian konvensional
termuat perjanjian kredit antara nasabah dengan penggadai dengan 10 item perjanjian. Sedangkan perjanjian
menurut pegadaian konvensional sebanyak 7 item. Ketentuan pinjaman oleh
pegadaian konvensional termuat dalam 5 item sedangkan pegadaian syariah memuat
4 item ketentuan pinjaman.
Konsep kredit pegadaian syariah pada
hakikatnya didasarkan pada ketentuan syariat islam terkait dengan masalah gadai
(Rahn). Berbagai ketentuan yang mengatur tentang gadai (Rahn)
dalam syariat misalnya dalam surat Al Baqarah ayat 283 ” Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang)...”. Dan hadits Riwayat Muslim dari Aisyah yang
mengatakan bahwa rasululah pernah membeli makanan dari seorang yahudi dengan
memberikan baju besi sebagai jaminannya. Sementara pegadaian konvensional lahir
atas prakarsa pemerintah dengan dikeluarkannya PP No. 10 tanggal 1 April 1990
yang kemudian direvisi pada PP No. 103 Tahun 2000 tentang Perum Pegadaian.
Kendati dengan landasan konseptual yang berbeda namun dari segi asas yuridis sama
yaitu peraturan pemerintah.
Akad ijarah merupakan konsep pemberian
kredit yang utama dalam sistem pegadaian syariah. Perkataan
al-ijarah sendiri berasal dari kata al-ajr yang berarti balasan
atau ganjaran ke atas sesuatu pekerjaan (Sabri dan Mumin, 2006: 2). Dengan
demikian ijarah yang dikehendaki pegadaian syariah adalah biaya sewa dan
perawatan terhadap barang yang digadai.
Ketentuan perhitungan ijarah oleh
pegadaian syariah berdasarkan pada siklus persepuluh hari. Misalnya uang
Taksiran terhadap barang sebesar Rp. 10.000.000
Pinjaman Rp. 1.000.000, Maka
Biaya Administrasi Gadai dan Gadai Ulangnya adalah Rp 30.000,-. Sedangkan
Ijarahnya sebesar : 1% X Rp 10.000.000,- = Rp 100.000,- / 120 hari.
Pegadaian konvensional
menggunakan teknik perhitungan dengan siklus per lima belas hari dengan
ketentuan bunga antara 1,200% sampai dengan 9,600%. Dengan suku bunga tetap
selama lebih dari 20 tahun yaitu sebesar 3,5% / bulan (Saudin Sijabat, 2010).
Dengan durasi perpanjangan gadai 120 hari (4 bulan). Misalnya uang pinjaman
sebesar Rp. 1.000.000. Maka, biaya sewa modal yang harus dikeluarkan oleh
penggadai dengan perhitungan 1.000.000/11,6% menjadi Rp. 116.000/ 4 bulan.
Dengan biaya administrasi dibagi dua yaitu gadai baru dengan biaya sebesar 1%.
Dan gadai ulang sebesar 0,8% / 4 bulan. Sehingga biaya administrasinya sebesar
Rp. 8.000.
Dari hasil perbandingan ini, diperoleh
bahwa biaya yang harus dikeluarkan oleh rahin pada transaksi gadai syariah
lebih mahal dibandingkan dengan transaksi yang dikeluarkan pada pegadaian
konvensional. Hal ini berarti, identitas syariah yang digunakan oleh pegadaian
syariah sama sekali tidak berdampak pada biaya yang harus dikeluarkan oleh
seorang penggadai.
Hal menarik yang patut dicermati
sebagaimana yang diutarakan oleh Abdul Manan dalam bukunya ekonomi islam adalah
jangan sampai praktik ekonomi islam memakai nama dalam bentuk syariah dengan
esensi riba yang sama. Hal ini akan sangat mencoreng citra syariah sebagai
ajaran yang berasal dari Allah.
Persoalan pegadaian syariah dan pegadaian
konvensional yang memiliki banyak kesamaan tidak memberikan arti penting dalam
menjawab persoalan syariah seputar masalah gadai. Secara essensial antara
pegadaian syariah dan pegadaian konvensional tidaklah berbeda justru kalau
dikaji dari segi kemaslahatan pegadaian syariah lebih banyak membebani
penggadai daripada pegadaian konvensional. Yang menjadi pertanyaan besar
peneliti adalah motif dikeluarkannya peraturan yang terkait dengan pegadaian syariah itu seperti apa. Kalau
misalnya kata syariah hanya untuk menarik pelanggan yang mayoritas muslim jelas
ini sudah menyalahi ketentuan syariat islam yang diturunkan oleh Allah. Dan
mencaplok nama syariah pada pada bidang bisnis jelas merupakan pelanggaran yang
tidak bermoral.
Dari segi penggunaan istilah tertutama
istilah ijarah yang digunakan oleh pegadaian syariah untuk memungut
biaya penyimpanan barang jaminan penggadai sebenarnya memiliki essensi yang
sama dengan bunga yang dipergunakan oleh pegadaian konvensional terhadap uang
pinjaman. Dengan menggunakan siklus empat bulanan terhadap tarif ijaroh akan
sulit kita membedakan dengan pegadaian konvensional. Sehingga yang terjadi
adalah bukan perbedaan dari segi essensi tetapi hanya dalam penggunaan istilah.
Kendati istilah yang digunakan ini berbeda
yakni satu menggunakan kata ijaroh yang berbasis syariat islam sedangkan yang
lain menggunakan bunga yang jelas-jelas dilarang oleh syariat islam, tetapi itu
tidak mengurangi nilai beban yang diberikan oleh masing-masing pegadaian.
Seandainya pegadaian syariah yang memakai istilah ijaroh untuk pungutannya
tidak membatasi waktu dengan empat bulanan, maka ini yang paling sesuai dengan
konsep pegadaian syariah. Hal ini didasarkan pada hadits ketika rasulullah
menggadaikan baju besinya untuk ditukarkan dengan makanan, dalam akad tersebut tidak dijelaskan
kapan dan berapa bulan batas waktu yang ditentukan untuk penebusan kembali.
Disamping itu, ketentuan Rahn (gadai
syariah) berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002
tanggal 26 Juni 2002 mengatakan bahwa terdapat lima point yang fundamental
praktek gadai yang sesuai dengan syariat islam salah satunya adalah “besar
biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan
jumlah pinjaman”. Sementara praktik pegadaian syariah pada hari ini besar biaya
administrasi dan biaya ijaroh tergantung pada besar kecilnya pinjaman yang
diambil atas hasil analisis prediktor terhadap barang gadai. Sehingga yang
terjadi bukan praktik gadai syariah tetapi praktik gadai dengan sistem bunga/riba
yang mengalami perubahan sampul dari usaha gadai konvensional.
Dengan demikian diakhir pembahasan ini
peneliti ingin menegaskan bahwa tidak terdapat ketentuan syar’i yang mengatakan
bahwa ijaroh yang dikenakan terhadap penggadai dengan waktu yang ditentukan.
Sehingga bagaimanapun baiknya pegadaian syariah apabila beban biaya sama dengan
pegadaian konvensional maka unsur syariah pegadaian sebagai alat untuk membantu
masyarakat tidak dapat terpenuhi, apalagi kedua pegadaian tersebut sama-sama
menggunakan siklus peminjaman yang empat bulanan.
E.
PENUTUP
Dari
pembahasan dan hasil analisa diatas, dapatlah disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Ditinjau dari beban biaya yang harus
dikeluarkan oleh penggadai, pegadaian syariah membebankan biaya yang lebih
besar dibandingkan dengan pegadaian konvensional. Sehingga, semangat syariat
yang menghendaki kemaslahatan umat tidak tercapai dengan baik melalui pegadaian
yang bertitel syariah.
2. Pembatasan beban ijaroh oleh pegadaian
syariah dengan menggunakan siklus empat bulanan, jelas menyalahi praktik gadai
yang dilakukan oleh Rasulullah. Karena dalam praktek gadai Rasulullah tidak
membatasinya dan hal ini tergantung kemampuan penggadai bisa lebih cepat atau
lebih lambat dari empat bulan.
3. Masing-masing
pegadaian memiliki kekurangan dan kelemahan. Pegadaian konvensional dianggap
melakukan praktek fidusia, sedangkan pegadaian syariah tidak betul-betul
melaksanakan prinsip syariah dalam pengelolaan pegadaian, seperti perhitungan
sewa modal dan administrasi yang tidak
transparan dan berdasarkan modal pinjaman.
F. DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan,
Muhammad, 1993. Ekonomi Islam Teori dan Praktek, Jokjakarta, PT. Dana
Bhakti Waqaf.
Kashadi, 2000,
Gadai dan Penanggungan,
Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.
Mgs. Edy Putra
The’Aman, 1989. Kredit Perpegadaianan
Suatu Tinjauan Yuridis. Liberty, Yogyakarta.
Patrik, Purwahid dan
Kashadi. 2004. Hukum Jaminan (Edisi
Revisi Dengan UUHT), Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
R. Subekti, 1989. Jaminan-jaminan
Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sabri Abdul Ghafar, Mohd dan Mumin Ab Ghani, Abdul, 2006. Manfaat
Al-Ijarah Menurut Perspektif Fiqh Empat Mazhab, Jurnal Fiqh: No. 3.
Sarli, Rais. 2005. Pegadaian Syariah Konsep dan
Sistem Operasional. Jakarta :
Universitas Indonesia.
Saudin Sijabat,
2010. Pegadaian Versus Bank Umum (Menilai Profil yang Potensial untuk
Menjadi Lembaga Perkreditan Rakyat),
Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UMKM.
Syaikh Muhammad bin
Ibrahim At-Tuwaijri, 2009. Ringkasan Fiqh Islam, Terjemah : Team Indonesia islamhouse.com.
Suyatno, Thomas (dkk), 1993. Dasar-dasar
Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.